BANGKA BELITUNG, metro7.co.id – Buntut pengungkapan dugaan penyimpangan program Sisa Hasil Produksi (SHP) PT Timah Tbk yang kini ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) RI membuat salah seorang di perusahaan BUMN itu angkat bicara.

Seorang narasumber dari internal PT Timah Tbk yang berhasil diwawancara oleh Metro7 turut menguraikan benang merah dugaan skandal SHP yang menggurita di tubuh perusahaan pelat merah tersebut.

Diceritakan narasumber, mulanya program SHP merupakan lanjutan dari program pengamanan aset (pam-aset) PT Timah Tbk yang sudah dimulai lebih dahulu pada tahun 2017.

Tujuan program pam-aset sendiri sebagai upaya perusahaan untuk mendongkrak target produksi yang kala itu mengalami kekurangan bijih timah, dengan cara membeli timah di kawasan konsesi IUP perusahaan yang ditambang secara ilegal oleh masyarakat, baik IUP yang berlokasi di darat maupun laut.

Mekanismenya, kata narasumber, perusahaan membeli bijih timah dari penambang ilegal yang beroperasi di kawasan-kawasan IUP PT Timah Tbk dengan pembayaran secara tunai.

Karyawan yang bertugas di Unit Penambangan Darat Bangka (UPDB) dan Unit Penambangan Laut Bangka (UPLB) PT Timah Tbk pun ditunjuk sebagai juru bayar pembelian bijih timah dari penambang.

Untuk di UPDB, tim pam-aset dikomandoi oleh pejabat pengawas produksi (Wasprod), dan di UPLB dikomandoi oleh pejabat Kepala Bagian (Kabag) Was-KIP/Was-PIP.

Namun, alih-alih mencapai target, program pam-aset ternyata tidak berjalan efektif lantaran harga beli bijih timah dari PT Timah Tbk yang jauh lebih murah dibandingkan smelter swasta.

Ditambah lagi, para karyawan yang ditunjuk sebagai juru bayar diduga melakukan mark up harga beli dengan cara memanipulasi kwitansi pembelian bijih timah dari penambang.

Padahal kata narasumber, menunjuk karyawan sebagai juru bayar pembelian bijih timah secara tunai dan langsung ke penambang ilegal itu pun, menurut dia, sudah menyalahi aturan.

Dugaan modus mark up harga tersebut lah yang jadi awal mula petaka yang mendera PT Timah Tbk, yang kemudian hari dugaan skandal itu pun berlanjut lewat program pembelian SHP secara massif.

Penjelasan narasumber, perusahaan telah mengucurkan anggaran hampir 2 triliun rupiah, terhitung sejak tahun 2018 sampai tahun 2019, untuk program SHP.

Anggaran tersebut terbagi antara lain: hampir 1 triliun rupiah didistribusikan ke UPDB; dan 980 lebih miliar rupiah didistribusikan ke UPLB.

“Hampir 1 triliun SHP UPLB. Pembelian dari Mei sampai Desember 2018. Ada datanya,” ungkap narasumber saat ditemui Jumat (2/2).

Untuk kebutuhan cover both side pemberitaan, Metro7 telah menghubungi Kabid Humas PT Timah Tbk, Anggi Siahaan, Senin (5/2) siang, lewat pesan aplikasi seluler, guna memverifikasi realisasi anggaran dalam program SHP, seperti yang diceritakan narasumber, namun tidak mendapatkan jawaban.

“Kalau untuk di darat sudah jalan pam-aset akhir tahun 2017. Awal yang bermain itu dari UPDB. UPDB mark up harga. Contoh misalnya mereka beli timah Rp90 ribu, tapi bilang ke PT Timah harganya Rp120 ribu. Jadi ada selisih untuk mereka,” kata narasumber yang menerangkan kalau kegiatan tersebut terus berlangsung sampai Mei 2018.

Tak hanya dugaan melakukan mark up, ujarnya, biji timah yang dipasok ke perusahaan ternyata mengandung terak dan campuran oli.

Sementara di UPLB sendiri program pam-aset dikomandoi oleh inisial Y yang baru menjabat kabag pada tahun 2018, menggantikan inisial K yang dipindah kerja oleh manajemen ke kapal produksi perusahaan lantaran dianggap tidak mendukung program perusahaan.

“Di UPLB masuk Y sebagai Kabag Pam-Aset/SHP. Dia bawa tim yaitu A, H, S, Y, dan E yang di bagian cek sample, serta Z sebagai Kabag CSR untuk bantu pembayaran,” sambung narasumber.

Mulanya tim Y begitu kesusahan mencari bijih timah untuk program pam-aset. Bahkan jumlah pasokan ke perusahaan tak kurang dari 100-200 kg untuk sekali pengiriman ke pos.

Baru lah semenjak program pam-aset beralih ke SHP pada bulan Mei 2018, Y secara tiba-tiba meminta para kolektor timah mengirimkan bijih timah ke pos PT Timah Tbk yang ada di Pemali, sehingga pembeliannya tidak lagi di lokasi.

Tak disangka, volume pasokan yang masuk ke pos berangsur-angsur melejit drastis.

“Tiba-tiba Y ini bahasanya transaksi pengiriman bukan di lokasi, tapi disuruh ngirim ke Pemali. Nyuruh kolektor-kolektor di nelayan. Tiba-tiba timah SHP laut ini meledak. Banyak yang ngantri bermobil-mobil. Dalam sehari itu 200 SP (surat perintah pengiriman bijih timah-pen),” imbuh narasumber.

Melihat banyaknya pasokan yang masuk ke pos begitu mudah, membuat kolektor-kolektor timah mitra PT Timah Tbk, kata narasumber, mulai bermain.

“Waktu itu timah ini udah main abu-abu. Karena setiap pengiriman barang masuk terus. Awalnya kandungannya ada yang rendah, ada topas, dan ada yang tidak ada kandungan timahnya. Sekali kirim banyak dapat duitnya. Karena samplenya yang dapat banyak, dapat duit kolektor itu pun sekitar 50-60 juta satu jumbo bag,” paparnya.

Narasumber menceritakan, mengingat banyak barang yang masuk ke pos, lantas diduga ada pihak-pihak yang diduga memperjualbelikan SP ke mitra perusahaan jika ingin barang yang dikirim lolos masuk ke pos.

“Timbul lah ada yang jual SP. Anak buahnya Y. Satu SP itu relatif, ada Rp5 juta, ada juga yang dapat SP dengan sistem bagi hasil,” terangnya.

Lebih parahnya lagi, kata narasumber, mulai periode Agustus 2018, diduga tim Y malah turut ikut mengirimkan barang milik mereka sendiri ke pos.

“Mungkin bagi Y kaya kolektor, maka di situ ada indikasi mereka sendiri yang kirim. Jadi dulunya kolektor yang kirim 40% kandungannya. Yang parah itu grup mereka sendiri yang kirim barang. Modusnya mereka bawa timah tidak ada Sn, kayak elminit atau topas. Mereka bawa sample 2 kg. Sample dengan yang mix beda, karena yang nge-mix itu orang mereka, si E. Jadi setiap orang kirim sample lewat dia. Barang tanpa kadar timah pun masuk,” beber narasumber.

Selain tim Y, ada juga tim lain yang dikomandoi oleh A selaku Kabag Was-PIP di UPLB. Tim A terdiri dari B, R dan H selaku juru bayar.

Untuk modus tim A, kata narasumber, mereka diduga memanipulasi kadar mix bijih timah.

“Sistem mereka ini, timah dari mitra ini ngirim, misal dari hasil mix keluarnya 68, jadi mereka sampaikan ke mitra itu kadang 55, 60. 8 mata diambil mereka, karena waktu itu bayarnya kan tunai. Itu celahnya. Mereka di mana pun dapat duit, karena waktu itu perusahaan kasih tunai ke mereka, karena mereka juru bayarnya. Simpan lah duit di Batu Rusa, miliaran itu,” ungkapnya.

Narasumber mengatakan bila aparat penegak hukum (APH) ingin mengecek barang bukti SHP tersebut, sampai saat ini masih tersimpan di Tanjung Ular dengan kapasitas ribuan ton.

“Mereka cuma ngirim sample aja, yang lainnya zonk, bukan benar-benar timah tapi elminit. Tidak bisa diolah ribuan ton. Tumpukan SHP itu mau lihatnya di Tanjung Ular. Barang buktinya ribun ton, bahkan sempat juga mau diolah tapi enggak mampu karena dari awal sudah salah,” cetus narasumber.

Mirisnya, lanjut Narasumber, Direktur Operasi PT Timah Tbk masa itu, Alwin Albar, dalam suatu acara perusahaan bulan Agustus 2018, malah memberikan apresiasi kepada UPLB yang dinilai berhasil menetapkan Harga Pokok Pembelian (HPP) bijih timah yang lebih rendah daripada UPDB, yakni $12.000 per ton. Sementara UPDB saat itu berada di kisaran harga $16.000 per ton.

“Jadi Alwin menyampaikan kalau HPP timah UPLB rendah, 12 ribu dollar per ton. Banyak untungnya. Untuk darat ini 16 ribu dollar per ton. Banyak selisih, karena memang modus UPDB ini kan mark up harga,” ujar narasumber.

“Bahasa Alwin waktu itu UPLB jadi kebanggaan. Y dan YA jadi kebanggaan. Mereka dianggap pahlawan PT Timah oleh Alwin karena HPP-nya rendah. Di atas kertas memang untung, namun kadar bijih timahnya enggak ada sama sekali. Makanya darat timbul lah inisiatif ngikut gaya mainnya UPLB,” sambungnya.

Padahal menurut narasumber, yang sedari awal menghancurkan PT Timah Tbk lewat program SHP itu bermula dari UPLB.

“Banyak oknum karyawan PT Timah yang kaya. Miliaran uangnya. Ratusan miliar mengalir ke oknum karyawan itu, aset-aset dan usahanya sekarang,” imbuhnya.

Narasumber pun sangat menyayangkan sikap manajemen PT Timah Tbk yang hingga kini dia nilai tidak tegas dan cenderung mendiamkan masalah tersebut.

“Yang sangat saya sayangkan ini, Kenapa manajemen PT Timah mendiamkan SHP 2018 yang pembeliannya langsung dari karyawan. Seluruh tahu karyawan itu bermain. Sangat disayangkan, data ada. PT Timah ini lengkap, SPI ada. Kedua, di PT Timah kan ada gakkum pengamanan. Seharusnya waktu itu satpam pengamanan tahu, kenapa didiamkan semua,” keluh dia.

Pada bagian kedua selanjutnya, narasumber turut menyebutkan sosok Alwin Albar dalam keterkaitannya dengan program SHP, termasuk adanya dugaan keterlibatan pejabat kepala unit produksi, serikat pekerja perusahaan, termasuk adanya intervensi terhadap Satuan Pengamanan Internal (SPI) PT Timah Tbk.