BANGKA BELITUNG, Metro7.co.id – Staf Khusus Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bidang pembangunan, Elly Rebuin menepis isu yang menuding dirinya menyalahgunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Mangrove yang merupakan program padat karya besutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada tahun 2021 lalu.

Dalam konferensi pers yang diadakan Jumat (14/1), Elly menegaskan tidak pernah menerima kompensasi apapun dari program restorasi lahan mangrove yang bekerja sama dengan BPDAS-HL dan Dinas LHK Provinsi Kepulauan Bangka Belitung itu.

“Di sini saya tidak mendapat uang satu sen pun dari kegiatan PEN. Karena saya tahu PEN ini sebuah respon yang harus diambil pemerintah sehubungan dengan percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca Covid-19,” ujar Elly.

Sedangkan pelaksanaan PEN itu sendiri, lanjut dia, bersifat swakelola dalam bentuk kelompok kerja masyarakat atau pokmas.

“Yang diterapkan oleh program penanaman mangrove oleh BPDAS melalui BRGM di level sedang dan kosong. Artinya pengajuan itu kita dapat informasinya dari masyarakat, dan yang menjaga juga masyarakat,” ungkapnya sembari menekankan bahwa saat ini terdapat 7 ribu hektar lahan di Bangka Belitung yang rusak akibat pertambangan, perkebunan, maupun properti.

Elly juga menjelaskan kalau teknis pembiayaan bibit, bahan, serta peralatan pendukung yang dibutuhkan pokmas ditransfer langsung oleh pihak BRGM ke rekening bank masing-masing pokmas.

Begitu pula dengan biaya upah kerja yang juga ditransfer ke setiap rekening bank anggota pokmas.

Karena itu dirinya menyangkal bila posisinya dalam program tersebut dikatakan sebagai pihak ketiga.

“Saya hadir berkenaan posisi saya sebagai pegiat lingkungan selain stafsus, dan perlu ditekankan saya bukan pihak ketiga dari program ini,” tegasnya.

Sementara untuk harga bibit pohon mangrove yang dianggarkan, kata Elly, senilai Rp2800 per batang.

“Biaya satu pohon tersebut Rp2800 per batang. Ternyata dapat informasi kasus di Belitung itu Rp1800 per batang. Setelah kita cek, mungkin terjadinya selisih harga karena ada di tingkat pokmas,” lanjut perempuan yang dikenal aktif sebagai aktivis lingkungan hidup itu.

Berkenaan dengan adanya selisih harga beli bibit mangrove yang sedang disoroti itu, dia menyarankan menanyainya ke pihak pokmas daerah yang bermasalah.

“Jadi selisih Rp1800 yang dipermasalahkan sebaiknya ditanyakan ke daerah bermasalah, dari kelompok [kerja] masyarakat yang ada di Belitung, sehingga timbul gejolak ini,” tutup Elly.