BANGKA BELITUNG, metro7.co.id – Rektor Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Fadillah Sabri, menilai kebijakan tata kelola pertimahan di Bangka Belitung saat ini masih belum ideal dan selaras dengan cita-cita otonomi daerah.

Pasalnya sejak status timah dicabut sebagai komoditas strategis negara, dan keran pertambangan timah dibuka secara bebas, Fadillah justru menganggap negara telah gagal mengoptimalkan potensi sumber daya alam di bumi ‘Serumpun Sebalai’ ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Apalagi di tengah maraknya penambangan ilegal hari ini yang tentunya tidak memberikan kontribusi pendapatan untuk negara, termasuk tanggung jawab reklamasi lahan pasca penambangan yang kerap kali diabaikan, ia katakan semakin menambah carut-marut persoalan tersebut.

Fadillah berpendapat, agar tata kelola pertambangan timah yang terkesan tanpa arah itu bisa dibenahi, maka sudah selayaknya PT Timah Tbk diberikan kewenangan penuh atau peran tunggal sebagai pengelola kegiatan pertambangan biji timah yang ada di Bangka Belitung, sehingga tambang-tambang rakyat yang saat ini masih berstatus ilegal, kemudian dapat dibina oleh PT Timah Tbk agar dapat menambang secara legal, dan sesuai dengan mekanisme pertambangan yang ramah lingkungan.

“Mereka menambang di IUP PT Timah, kemudian menjualnya ke PT Timah, dan sama-sama bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi lingkungan. Itu bisa dilakukan karena ada istilahnya kompensasi lingkungan hidup atau kompensasi sumber daya alam,” ucap rektor yang akrab disapa Ustad Fadil itu menjelaskan, ketika ditemui di kediamannya pada Minggu (08/08/2021) sore, di Sungailiat, Kabupaten Bangka.

Lebih lanjut ia mengutarakan supaya gagasan tersebut bisa terimplementasi maksimal, maka kewenangan pelaksanaan pun sepenuhnya mesti diserahkan kepada PT Timah Tbk.

Sedangkan bagi perusahaan swasta yang ingin mengusahakan pertambangan biji timah, ia katakan dapat bermitra dengan PT Timah Tbk, agar kegiatan penambangan pun dapat terkontrol sebagaimana aturan yang berlaku.

“PT Timah sudah sejak zaman Belanda, kok. Tapi kita lihat degradasi lahan, perubahaan tata guna lahan, erosi, sedimentasi dan segala macamnya itu kan tidak pernah terjadi sebelumnya. Tahun 50-an, tahun 70-an, tahun 80-an, sampai kemudian dibukanya pintu pertambangan bebas ini. Akhirnya PT Timah lepas tangan. Karena masa (PT Timah Tbk-pen) yang mesti disalahkan,” ujarnya.

Fadillah menegaskan kalau dirinya sangat setuju bila peran tunggal PT Timah Tbk dan status timah sebagai barang mineral strategis dapat dikembalikan seperti sediakala, agar nilai ekonominya bisa maksimal diserap oleh negara, dan kontrol terhadap reklamasi lingkungan atau lahan pasca penambangan juga bisa lebih mudah diawasi.

“Pandangan saya ini mungkin tidak akan disukai oleh mereka yang memiliki kepentingan. Tapi kita ini berpikir jangka panjang. Untuk negara dan untuk keturunan kita berikutnya,” ungkap Ketua Forum DAS (Daerah Aliran Sungai) Bangka Belitung tersebut.

Guna menyalurkan gagasannya, rektor jebolan UII dan UGM Yogyakarta itu dalam waktu dekat berencana akan mengadakan diskusi publik bersama para tokoh masyarakat dan kalangan akademisi di Bangka Belitung.

“Kembalikan timah sebagai komoditas strategis negara, serta berikan kewenangan PT Timah sebagai pengelola tunggal, dan yang lainnya itu (perusahaan swasta-pen) bisa bermitra dan dibina oleh PT Timah, sehingga negara dan rakyat bisa mendapatkan manfaat dari sumber daya alam Bangka Belitung secara optimal dan maksimal,” tutup Fadilah yang juga dikenal sebagai Ketua dan Pembina BKPRMI Kabupaten Bangka meyakinkan.

Selain itu ia juga berharap agar ke depannya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bisa meningkatkan nilai royalti timah menjadi lebih besar lagi daripada saat ini, atau bahkan mendapatkan porsi kepemilikan atau divestasi saham perusahaan pelat merah tersebut untuk daerah ini, supaya adanya pemerataan keadilan ekonomi secara nyata bagi masyarakat Bangka Belitung.[]