Kisah Pilu Sariati, Rumahnya Disita, Dilelang dan Diminta Berdamai Rp550 Juta
BANGKA BELITUNG, metro7.co.id – Air mata Sariati luruh membasahi sekujur wajahnya kala menyaksikan rumah semata wayang miliknya yang beralamat di Lingkungan Sri Pemandang, Kelurahan Sri Menanti, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, harus dikosongkan atas perintah Pengadilan Negeri Sungailiat, Kamis (3/10) lalu.
Didampingi anak perempuannya, Ine (43), dan kuasa hukumnya, Suanto Kahir, dalam jumpa pers yang diadakan Jumat (4/11) sore, anak perempuan lanjut usia tersebut menceritakan awal mula malapetaka itu menimpa keluarga mereka.
Ine berkisah, pada awalnya mereka meminjam modal usaha ke PT Permodalan Niaga Madani (PNM) cabang Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat, pada 2017 silam.
Kala itu pihaknya meminjam sebesar Rp90 juta untuk modal usaha dengan jaminan atau objek agunannya adalah rumah milik orang tuanya tersebut.
Adapun angsuran per bulan yang mesti dibayar oleh pihak Ine senilai Rp5,3 juta.
Meski kadang sempat tersendat bayar, tapi Ine mengatakan pihaknya tetap lancar membayar angsuran pinjaman hingga 13 kali angsuran.
Namun, masalah kemudian muncul ketika pihaknya dinyatakan wanprestasi atau gagal bayar oleh PT PNM pada angsuran berikutnya, sehingga PT PNM memutuskan melakukan pelelangan rumah agunan tersebut.
“Dia (pihak PT PNM-pen) bilang kami terlambat bayar dua bulan katanya. Jadi dilelang,” ujar Ine.
Meski sudah dilelang, tapi Ine mengakui sempat membayar angsuran yang tertunggak dua bulan itu kepada PT PNM secara tunai.
“Kami bayar lagi, dua kali dan diterima oleh PNM. Bayar ke kantor sekali, dan diambil di rumah sekali, pak,” ungkapnya.
Namun ketika Ine ingin membayar angsuran pada bulan selanjutnya, pihak PT PNM lantas menolaknya dengan alasan rumah sudah dilelang.
“Sistem mental katanya, udah gak boleh lagi bayar karena rumah sudah dilelang katanya. Baru pembayaran 25 Oktober, tapi tanggal 28 mereka kembali lagi ke rumah bilang tidak menerima angsuran lagi dari kami dan rumah sudah dijual katanya,” papar Ine.
Mengetahui rumahnya akan dilelang, pihak Ine pun ingin mengetahui proses lelang tersebut, namun dilarang oleh PT PNM.
“Pas itu kami menerima surat lelang tanggal 5 November 2019. Kami mau ikut, dia bilang gak usah ikut karena ini online. Padahal kami mau tahu ini benar apa enggak, pak,” keluh Ine.
Lebih ironis lagi, diceritakan oleh Ine, setelah pihaknya menyelesaikan akad dengan pihak PT PNM di kantor notaris pada awal peminjaman, pihak Ine kemudian diminta oleh pihak PT PNM menandatangi surat kuasa penjualan rumah agunan tanpa didampingi pihak notaris.
“Jadi kami baru selesai dari notaris. Kami pulang ke rumah, mereka (pihak PT PNM-pen) menyusul dan bilang ada surat yang tertinggal, lupa tadi di notaris katanya. Pas kami baca ternyata itu surat kuasa untuk menjual [rumah agunan] apabila ada keterlambatan dua bulan pembayaran angsuran,” kisah Ine.
Pihak Ine sempat menolak menandatangani surat kuasa penjualan tersebut, tapi pihak PT PNM mengancam apabila tidak ditandatangani maka uang pinjaman tidak bisa dicairkan, dan pihak Ine pun harus menanggung segala biaya akad peminjaman di notaris sebelumnya.
“Saya bilang, pak, kita aja baru mau minjam, masa harus ganti rugi. Tapi mereka bilang ini prosedur. Akhirnya Ibu saya (Sariati-pen) tanda tangani surat itu, dan dengan adanya surat itu kami tak pernah menunggak angsuran sampai lebih dari tiga bulan, pak,” imbuh Ine.
Adapun upaya pihak Ine untuk menyelesaikan masalah tersebut ke pihak PT PNM setelah rumahnya dilelang sama sekali tak digubris.
“Kami yang suka nelpon, dan datangi kantor mereka. Tapi mereka bilang udah gak bisa, dan sudah ada pembeli. Mereka bilang nasi udah jadi bubur, pak,” kata Ine menceritakan.
Bahkan, lanjut Ine, bila ingin rumahnya kembali, pihak Ine diminta membayar ganti rugi sebesar Rp550 juta ke pihak pembeli atau pemenang lelang rumahnya tersebut.
“Sebelum pengosongan rumah itu kami disuruh berdamai lah, pak, sama pembeli rumah kami. Tapi bagaimana mau damai, pak, kalau damai dengan uang Rp550 juta sama si pembelinya pak Alex dan ibu Halimah Wati,” keluh Ine.
Sedangkan, kata Ine, pada bulan kedua mereka membayar angsuran, pihak pemenang lelang rumahnya saat ini pernah datang menawarkan untuk membeli rumah mereka tersebut.
“Pada angsuran kedua sudah ada yang datang ke rumah mau beli rumah kami. Ternyata yang menang lelang rumah kami sekarang ini yang pernah datang ke kami dulu mau beli rumah kami. Orang tuanya pak Alex. Tapi kami bilang tidak jual rumah, pak, waktu itu,” ungkapnya.
Kini, Ine dengan ibundanya Sariati yang selama ini tinggal bersama di rumah mereka itu harus pasrah menerima nasib.
Ia hanya berharap, rumah peninggalan keluarga itu bisa kembali lagi ke tangan mereka.
“Rumah, pak, yang kami perjuangkan semoga balik lagi. Hanya itu harapan kami, pak. Kami sudah jual motor, televisi, dan apapun yang kami punya supaya rumah itu kembali, pak,” harap Ine sambil meneteskan air mata.
Sementara, kuasa hukum Sariati dan Ine, yaitu Suanto Kahir dalam keterangannya menduga terdapat kejanggalan atas putusan Pengadilan Negeri Sungailiat yang menyatakan kliennya untuk mengosongkan rumah tersebut.
Suanto mengatakan kliennya mengakui jika pernah mengalami kemacetan pembayaran angsuran, namun kliennya tetap berniat membayar tunggakan tersebut.
Kliennya, kata dia, selama ini telah membayar angsuran sebanyak 15 kali, dan masih tersisa 9 kali angsuran dengan total sekitar Rp50 jutaan.
“Mereka ini ada itikad baik untuk tetap bayar. Tetapi seiring berjalan waktu karena dengan alasan adanya tunggakan mereka tidak bisa melakukan pembayaran tagihan selanjutnya dan ditolak oleh PNM. Malah secara tiba-tiba ada surat pemberitahuan pelaksanaan lelang, dan ketika itu petugas PNM katakan kalau dilakukan pembayaran akan menunda pelaksanaan lelang,” papar Suanto.
Dirinya menyebutkan, surat yang pertama kali kliennya terima pada bulan Agustus, dan lalu pada bulan Oktober muncul surat yang kedua dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), sehingga diwajibkan harus bayar angsuran lagi.
Menurutnya, dalam proses tersebut terdapat kejanggalan, karena jika proses lelang sudah dilakukan, maka semestinya tidak boleh lagi ada pembayaran angsuran.
Lebih lanjut dia juga membenarkan jika ada surat kesepakatan yang ditandatangani pihak keluarga yang isinya apabila pihak peminjam terlambat membayar angsuran selama dua bulan berturut-turut, maka obyek agunan itu pun bisa dilelang oleh pihak PT PNM.
Namun, setelah dirinya mencoba mempelajari surat kuasa penjualan tersebut, Suanto menilai ada kejanggalan dan keanehan.
“Menurut dugaan saya ini seperti ada oknum yang bermain. Karena dasar untuk melelang rumah yang menjadi jaminan ini wanprestasi akibat dari surat kuasa tadi. Saya menilai surat kuasa yang dibuat itu tidak boleh diberlakukan karena merugikan klien kami,” tegasnya.
Selain itu, Suanto turut menyesalkan tindakan eksekusi pengosongan rumah kliennya sampai harus terjadi, karena dia menganggap pihak pengadilan tidak menghormati upaya gugatan hukum yang sedang lakukan oleh pihaknya saat ini.
Terkait masalah ini, selanjutnya pihak Suanto akan menempuh jalur hukum dengan membuat laporan ke kepolisian, Ombudsman, hingga ke Komisi Yudisial.
“Disini saya melihat ada potensi pidananya, oleh sebab itu saat ini kami sedang melakukan upaya gugatan terkait perlawanan hukum dari PNM, dan tanggal 30 November nanti sidang pertama. Maka saya harap hormati lah proses yang sedang berjalan ini. Kalau memang nanti sudah inkrah, dan dinyatakan kalah, kami siap melaksanakan putusan itu,” tutupnya.