KPK Usulkan Sistem Nasional Neraca Komoditas Dalam Tata Niaga Pangan dan Holtikultura
BANDAR LAMPUNG, metro7.co.id – Selain melakukan kajian solusi mengatasi kelangkaan pasokan batu bara dan mineral bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan penataan tata kelola mineral dan batu bara melalui Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, juga telah memberikan masukan bagi Pemerintah, khususnya kepada Kementrian Kordinator Perekonomian, Kementrian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Bulog, terkait metode mengatasi kelangkaan minyak goreng.
Kelangkaan minyak goreng di Indonesia terjadi sekitaran bulan januari 2022 hingga saat ini. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan fakta kelangkaan minyak goreng di pasaran ternyata dipengaruhi oleh beberapa sebab. Mulai dari panic buying,ihtikar(penimbunan) hingga masalah distribusi yang terganggu.
Jika kelangkaan Migor ini dibiarkan berlarut, dikuatirkan tidak saja akan berdampak daya beli masyarakat, tapi juga terhadap perekonomian nasional.
Guna keluar dari belitan kelangkaan Migor ini, Ketua KPK, Firli Bahuri menawarkan suatu pendekatan Sistemik yang tidak saja menjadi solusi jenerik jangka pendek tapi juga merupakan obat mujarab dalam jangka panjang.
Solusi yang ditawarkan KPK ini bukan sesuatu yang serta merta, tapi merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh KPK. Kajian ini tidak saja hanya terbatas pad Agara kelola Migor, tapi juga terkait tata kelola bahan pokok, importasi, holtikultura serta gula rafinasi.
“Saya sudah sampaikan, batu bara sudah bisa kita selesaikan, selanjutnya tentu kita akan bahas tentang bagaimana ketersediaan dan ketercukupan bahan pokok termasuk holtikultura, minyak goreng dan gula rafinasi,” ungkap Firli Bahuri kepada sejumlah media, Sabtu (14/4) di Bandar Lampung.
Menurut Firli, konsepsi tersebut sudah disampaikan oleh KPK kepada Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Airlangga Hartarto.
“Konsep kita sudah saya sampaikan kepada Menko Ekonomi, berupa kajian KPK terkait dengan tata kelola bahan pokok, importasi serta holtikultura. Selain itu saya sampaikan, kita perlu membahas tentang minyak goreng dan gula rafinasi,” sebut Firli Bahuri.
Atas usulannya tersebut, Kemenko Perekonomian lalu menindaklanjuti dengan rapat bersama Menko Perekonomian yang dihadiri Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian dan Dirut perum bulog.
Dalam rapat tersebut, terungkap jika pemerintah telah melakukan upaya mengatasi kelangkaan minyak goreng dengan asumsi berapa produksi, berapa kebutuhan dan berapa yang menjadi persediaan penyangga.
“Pemerintah sudah membuat asumsi, berapa produksi minyak goreng, berapa kebutuhan dan berapa yang bisa menjadi stok. Artinya kalau lihat dari paparan Menteri Perdagangan supply and demand itu cukup, bahkan lebih. Tapi fakta di lapangan kok terjadi kelangkaan, Ini hal yang kita bahas tadi,” paparnya lagi.
Menurut Firli, ada beberapa dugaan, mengapa minyak goreng langka. Pertama, untuk skala nasional, harga minyak goreng DMO lebih rendah dari harga pasar, serta harga dalam negeri lebih rendah dari harga luar negeri. Akibat terjadinya disparitas harga ini, mendorong produsen minyak goreng mencari harga yang lebih menguntungkan.
“Bisa saja orang menyimpan karena harga untuk minyak goreng DMO itu lebih rendah dari pada harga pasar. Ini hanya untuk di nasional. Sementara harga di Indonesia juga lebih rendah lagi bilamana dibandingkan dengan harga di luar negeri. Artinya bisa saja para pemilik perkebunan dan produsen minyak goreng itu bisa bermain karena disparitas harga itu,” ungkapnya.
Kedua, Produsen menahan stok, yang dipicu harga DMO di bawah harga pasar. Menurut Ketua KPK ini, pemerintah harus membuat aturan agar ini tidak terjadi.
“ Bisa saja dimungkinkan adanya pelaku usaha baru, memanfaatkan harga yang DMO 9.300 sementara harga pasar 15.300 (selisih 6000an). Disini, pelaku-pelaku yang mencari keuntungan kan bisa,” terang Firli.
Guna meminimalisir terjadinya penyimpangan, maka Pemerintah harus membuat sistem informasi manajemen dengan membuat neraca komoditas.
“ Oleh karena itu, saya sampaikan dalam rapat koordinasi tersebut sebuah solusi, yakni dengan membuat sistem informasi terkait dengan neraca komoditas, dari mulai hulu sampai hilir. Mulai dari produsen, distributor, industri, konsumsi. Jadi tidak ada penyimpangan,” sambungnya.
Jadi Sistem Nasional Neraca Komoditas (SNANK) ini merupakan sistem yang terintegrasi, dengan sistem yang mencontoh sistem SIMBARA. Sistem ini untuk melihat dan menentukan berapa kebutuhan dalam negeri, apakah untuk industri atau untuk konsumsi masyarakat.
Melalui SNANK ini, pemerintah, aparat penegak hukum dan lembaga pengawas dapat mengetahui berapa produksi, kebutuhan, serta distribusi ke masyarakat dan industri.
“ Simtem ini memudahkan pemantauan, berapa untuk produksi dan jumlah yang dihasilkan, berapa kebutuhannya, berapa untuk yang didistribusikan untuk masyarakat dan industri. Maka dengan begitu akan terjadi keseimbangan. Kalau barang produksi 1.000 distribusi lengkap itu 1.000 juga,” sebut Firli lagi.
Jadi tidak ada lagi yang didasari asumsi, karena by data dan real time. Dengan begitu Menteri Koordinator bidang Perekonomian bisa menentukan dengan tim ekonominya, berapa yang harus dieksport berapa untuk pemenuhan dalam negeri. Jadi prinsipnya kebutuhan nasional harus tercukupi, masyarakat tidak boleh dirugikan.
Sistem ini jika sudah berjalan akan bisa diawasi oleh masyarakat, bukan hanya KPK maupun kementrian terkait. Dari berapa produksi dalam negeri dan berapa kebutuhan masyarakat.
“Misal terjadi situasi harus impor, akan dimasukan juga datanya ke dalam sistem itu, impor darimana. Lalu siapa importirnya, ketika barang yang diimpor sudah datang untuk apa. Apakah digunakan untuk konsumsi masyarakat atau untuk industri,” terangnya lagi.
Firli memastikan sistem tersebut nantinya tidak membuat orang sulit. Karena jika sistem sulit, akan membuka peluang terjadinya korupsi, suap menyuap hingga gratifikasi.
“ Kalau itu terjadi maka akan menjadi urusan KPK, kita tangkap siapapun juga,” pungkasnya.