SULA, metro7.co.id – Persolan proyek pembangunan rumah ibadah Desa Capalulu Kecamatan Mangoli Tengah Kabupaten Kepulauaan Sula (Kepsul) yang biaya pembangunannya menggunakan Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) tahun anggaran 2018 senilai Rp 470 juta disoroti akademisi dan praktisi hukum Dr Abdul Aziz Hakim.

Menurutnya, proyek yang dikerjakan kontraktor Bahar Umasangaji itu menyalahi peraturan perundang-undangan. Alasannya, proyek tidak selesai, namun sisa anggarannya dihentikan pemerintah yang dalam hal ini Dinas PUPR Kepulauan Sula.

“Saya kira masalah ini harus diusut tuntas dengan jalan diaudit oleh pengawas internal. Sehingga jika ada indikasi pelanggaran terhadap proyek ini, maka segera ditindak oleh aparat penegak hukum baik secara adminstratif, perdata maupun pidana. Apa kira-kira indikasi kuat penyebabnya sehingga proyeknya belum selesai tapi anggarannya tidak dicairkan untuk menyelesaikan pekerjaan,” kata Aziz, senin (5/10/2020).

Justru anehnya lanjut Aziz, pihak PUPR Sula tiba-tiba menghentikan pekerjaan tersebut tanpa alasan yang jelas. Dalam konteks ini pihak Dinas PUPR Kepulauaan Sula menurutnya harus mempertanggungjawabkan tindakan tersebut. “Jangan sampai terkesan mendiamkan dan tidak menanggapi persoalan ini,” ucapnya.

“Sikap PUPR ini justru menimbulkan spekulasi publik. Apa penghentian ini disebabkan proyek bermasalah karena pihak perusahan tidak mampu selesaikan pekerjaan, atau kah memang anggarannya sengaja disalahgunakan oleh oknum Dinas PUPR Sula? Persoalan inilah harus didudukkan,” ujar Aziz.

Aziz yang juga sebagai Wakil Ketua Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJK) Malut yang membidangi hukum ini, secara tegas mengatakan bahwa jika memang ada indikasi permainan atara pihak PUPR atau perusahaan, harus segera diberikan sangsi adminstratif, perdata dan pidana.

“Jika nanti terbukti bahwa pelanggaran dilakukan oleh pihak perusahan, maka saya kira harus ditindak tegas dengan memberikan sanksi sebagaimana peraturan perundang-undangan atau sebaliknya jika ada keterlibatan oknum Dinas PUPR yang harus diberikan sanksi berat karena lalai melakukan perbuatan yang menjadi kewajibannya,” ucapnya.

Lebih lanjut, akademisi Fakultas Hukum UMMU yang juga ini menilai beberapa pihak dalam kasus ini terkesan saling menyalahkan soal anggaran tersebut. Diantaranya Ayun dari pihak perusahan, Sinaryo Thes dan Julfi Umasangaji dari pihak DPRD dan Bupati sendiri.

“Selaku pimpinan eksekutif dan anggota legeslatif masa tidak didudukan atau paling tidak mengetahui secara pasti alasan penghentian proyek ini, soal kemungkinan penyalahgunaan anggaran oleh pihak perusahan atau instansi terkait,” tegasnya.***