Ayah, Jangan Jadikan Aku ‘Mangsamu’ (Refleksi Otokritik di Hari Ayah)
Oleh : Sil Joni *)
Ibu, baru bisa disebut ibu jika ada ayah. Demikian pun seorang anak, tidak bisa dipikirkan, tanpa kehadiran ayah. Relasi triadik antara ibu-ayah-anak tidak hanya berdimensi afektif (emosional), tetapi juga bersifat eksistensial (bagian dari cara berada sebagai manusia).
Karena itu, sebuah ‘kepincangan’ jika kita menafikan salah satu dari ketiganya ketika memberikan ‘penghormatan khusus’ akan entitas kemanusiaan dalam predikat itu. Maksudnya adalah jika ada momen khusus untuk merayakan tentang keibuan (Hari Ibu) dan keanakan (Hari Anak), maka logisnya, kebapakan pun mesti dikenang dalam sebuah perayaan khusus (Hari Ayah).
Sebelum membuat refleksi otokritik, penulis akan memaparkan secara sekilas sejarah lahirnya Hari Ayah Nasional atau peringatan Hari Ayah di Indonesia yang dirayakan setiap tanggal 12 November. Sementara sebagian besar negara-negara di dunia, peringatan Hari Ayah atau Father’s Day itu jatuh pada Minggu ketiga bulan Juni.
Momen hari ayah di berbagai negara sudah mulai diperingati sejak awal abad ke-12 dengan makna sebagai hari untuk menghormati Ayah. Di Amerika Serikat misalnya, budaya merayakan Hari Ayah sudah dimiliki sejak Juni 1910 di Negara Bagian Washington. Di beberapa negara Eropa dan Amerika Latin, para Ayah diberi penghargaan setiap 19 Maret (St Joseph’s Day).
Sedangkan peringatan Hari Ayah di Indonesia baru dimulai sejak tahun 2006 atas prakarsa Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP). Peringatan Hari Ayah Nasional itu pun juga bermula saat PPIP merayakan peringatan Hari Ibu dengan mengadakan Lomba Menulis Surat untuk Ibu di tahun 2004.
Di akhir acara, banyak peserta lomba menanyakan kepada panitia kapan lomba menulis surat untuk hari Ayah digelar. Mereka menganggap sosok Ayah juga bagian penting dalam sebuah keluarga.
Berawal dari sinilah, PPIP melakukan audiensi ke DPRD Surakarta untuk menanyakan kapan peringatan Hari Ayah di Indonesia. Setelah melalui pemikiran panjang, PPIP akhirnya menggelar deklarasi Hari Ayah Nasional di Surakarta pada tanggal 12 November 2016.
Di hari dan jam yang sama, deklarasi Hari Ayah juga dilakukan di Maumere, Flores, NTT yang difasilitasi oleh komunitas Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret. Sejak saat itulah, setiap tanggal 12 November ditetapkan sebagai Hari Ayah Nasional.
Bapak Harapan (Figur Ideal)
Gambaran atau lukisan kita tentang ‘sosok ayah’ umumnya begitu positif dan optimistis. Bapak adalah tokoh sentral yang menjadi ‘tiang penyangga’ dan tulang punggung kehidupan keluarga. Pengorbanan seorang ayah tentu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata saja. Singkatnya, kita melihat bapak (biologis) kita sebagai ‘pahlawan’ dan penjasa dalam keseluruhan proses formasi personalitas kita. Kontribusi seorang ayah terlalu besar untuk dinafikan begitu saja.
Peringatan Hari Bapak Nasional merupakan momentum penghargaan dan penghormatan kita terhadap ‘sosok’ yang tak tergantikan dalam hidup kita. Kendati doa dan ucapan apresiasi itu mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan ‘perjuangan dan kerja keras’ yang ditunjukkan oleh sosok tersebut, tetapi saya kira ucapan terima kasih yang keluar dari ‘bibir yang tulus’ sangat berarti bagi seorang ayah.
Setidaknya, seorang ayah akan bahagia sebab ‘nilai-nilai humanisme’ yang diwariskannya kepada kita yang salah satunya terekspresi dalam bentuk ‘penghormatan’ yang tulus kepada orantua, sudah terinternalisasi dalam diri anaknya. Seorang ayah pasti sangat bergembira ketika melihat anaknya memperlihatkan ‘budi baik’ dalam berperilaku dan bertutur kata baik kepada orang lain, maupun kepada dirinya.
Tegasnya, kita memandang seorang ayah sebagai ‘figur ideal’ yang memberikan segalanya untuk kita. Sosok bapak harapan begitu terpatri dalam nubari ketika nama ayah didaraskan dalam doa. Kualifikasi sebagai ‘ayah yang bermartabat’ sudah pasti bersemayam dalam pikiran kita. Segala kisah romantika dan nostalgia ketika ada bersama dengan ayah ‘hadir kembali’ persis di saat kita merefleksikan makna kehadiran ayah dalam hidup kita.
Tanpa bermaksud mengabaikan dan menghapus ‘citra positif’ di atas, perkenankan saya dalam tulisan ini mengajukan semacam gugatan kritis terhadap perilaku sebagian ayah yang masih jauh dari figur bapak harapan itu. Alih-alih memberikan ‘kenyamanan dan ketenangan batin’ bagi anak, justru pada sebagian kasus kita menemukan wajah ayah yang tampak begitu sangar dan brutal.
Ada yang tega ‘menjadikan anak (perempuan) kandungnya sebagai objek nafsu seks. Berita seputar kekerasan (pelanggaran) seksual di mana pelakunya adalah ‘ayah kandung’ dari korban, terus menghiasi halaman media massa kita. Tingginya angka kekerasan domestik, ditengarai sebagai implikasi logis dari ‘gagalnya’ seorang ayah tampil sebagai ‘sosok ideal’ bagi keluarga.
Selain itu, watak otoriter masih dominan diperlihatkan oleh seorang ayah dalam mendidik anak-anaknya. Kultur paternalisme (bapakisme) cenderung membenarkan pola asuh yang bersifat otoriter dari seoarang ayah. Pola komunikasi dan relasi dalam keluarga bersifat bapak-sentris, berpusat pada ayah. Kehendak dan kemauan ayah kerap dipaksakan untuk diikuti oleh anak-anak tanpa mempertimbangkan alasan dan kondisi yang dihadapi oleh anak.
Hari Ayah Nasional ini mesti menjadi ‘momen titik balik’ bagi ayah untuk bertindak lebih demokratis dan manusiawi baik terhadap istri mapun terhadap anak-anak dalam keluarga. Para bapak, termasuk saya mesti memperlihatkan sisi positif dan citra ideal ketika berhadapan dengan anak. Kita harus gesit menepis godaan untuk menjadikan anak sebagai objek interes personal, termasuk menjadikan anak sebagai mangsa seks. Perilku brutal dan barbar semacam itu sangat tidak mencerminkan sosok ayah yang kita agungkan selama ini.
Akhirnya, dari beranda SMK Stella Maris, saya mengucapkan selmat memperingati Hari Ayah Nasional kepada para bapak dan calon bapak di seluruh Indonesia. Jika para bapak bisa memperlihatkan kualifikasi kepakannya secara baik dan konsisten, maka Negara Indonesia akan semakin kuat dan jaya.
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.