MANGGARAI BARAT, metro7.co.id – Para buruh yang bekerja di pelabuhan kelas II Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur menjerit lantaran upah mereka belum tuntas dibayar. Mereka mengaku upah yang belum dibayar hingga saat ini adalah bongkar muat barang campuran yang hitungannya berdasarkan kubikasi. Harga kubikasi pun mereka tidak tahu.

Sedangkan bongkar muat barang berat, seperti semen yang hitungan bianya berdasarkan tonase telah mereka terima. Upah yang mereka terima sebesar Rp 25.000 per ton semen per kelompok buruh. Satu kelompok ada 30 orang buruh. Jadi 25.000 dibagi 30 orang.

Para buruh mulai menjerit upah setelah Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) dibentuk oleh Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas II Labuan Bajo, Simon Baon.

Adapun susunan pengurus Koperasi TKBM Tacik, Mori Ata Ngaran, Ketua Fidelis Binorma (ASN), Sekretaris Paskalis Djuma (ASN), Bendahara Ivoni Rosalin Helena Nenabu (ASN), Lukas Rujin (Staff Operasional), Inofasius Dan (Staff Operasional), Bonefasius Kendos (Staff Operasional), dan Rapertus Nurut (Staff Operasional).

Ketujuh pengurus koperasi TKBM ini diangkat berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas II Labuan Bajo, Simon Baon, S.Sos, M.H. Nomor : KP.104/4/17/UUP.LBJ-2020 tanggal 10 Juni 2020.

“Sebelum TKBM dibentuk, upah kami langsung dibayar pemilik barang. Namun setelah koperasi TKBM dibentuk sebulan lalu, upah kami bongkar/muat barang campuran belum dibayar,” kata
Lazarus Jagom, seorang buruh asal Kampung Pajo, Desa Raka, Kecamatan Ndoso saat temui metro7.co.id di atas kapal niaga Sinar Harapan, Kamis (30/7/2020).

Lazarus merincikan untuk bongkar muat barang kategori barang campuran, upah buruh belum dibayar sama sekali selama sebulan terakhir. Padahal Dia bersama teman-temannya telah membongkar barang campuran yang dimuat empat kapal niaga yang bersandar di pelabuhan tersebut.

Keempat kapal niaga itu, yakni Kapal Camri yang memuat yudit/gorong-gorong dari Surabaya. Kapal Ala Makmur muat barang campuran barang toko dari Surabaya. Kapal “Citra Saudara” muat barang campuran, semen, beras, terigu, kardus dari Makasar dan kapal “Nusantara Indah” muat barang toko dari Surabaya.

“Kami tidak tahu apa alasan mereka belum bayar. Apakah toko pemilik barang belum bayar ke koperasi TKBM. Kami tidak tahu.
Kami kesulitan uang belanja sekarang”, keluh Lazarus.

Keluhan senada juga diungkapkan Mikael, berasal dari Kampung Wera, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor. Dia bekerja di pelabuhan Labuan Bajo selama 13 tahun.

Kristo Sil, seorang Teli, yang bertugas untuk cek barang bongkar/muat di pelabuhan dan membuat laporan ke kantor TKBM. Kristo berasal dari Kampung Kondeng, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor juga mengatakan hal yang sama.

Kristo menjelaskan ada tiga kelompok buruh yang bekerja di pelabuhan itu dan menjadi anggota koperasi TKBM. Satu kelompok buruh berjumlah 30 anggota dan dipimpin satu orang mandor. Mereka bekerja dari pukul 08.00 wita sampai pukul 16.00 wita.

Menurut Kristo, biaya tarif bongkar muat barang berat seperti semen yang diterima buruh sebesar 25.000/ton dibagi kepada 30 anggota buruh satu kelompok.

“Tetapi tarif per ton yang dibayarkan ke TKBM, kami tidak tahu. Kami tidak tahu mereka bayar berapa ke TKBM,” ujar Kristo.

Demikian halnya biaya tarif bongkar muat barang campuran (general cargo), seperti beras, gula pasir dihitung berdasarkan kubikasi.

“Kami juga tidak tahu harga kubikasi barang campuran itu berapa yang disetor ke TKBM. Berapa yang dibayarkan ke kami. Kami tidak tahu karena upaya bongkar muat barang campuran ini belum dibayar,” katanya.

Sementara dalam lampiran Keputusan Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas II Labuan Bajo, Simon Baon Nomor : KP.104/4/17/UUP.LBJ-2020 tanggal 10 Juni 2020 dicantumkan besaran tarif bongkar/muat barang berat (general cargo) seperi semen, tafif lama sebesar 49.276 per ton. Tarif baru Rp 52.232 per ton. Besaran tarif lama untuk barang bag cargo seperti beras, terigu gula pasir Rp 34.975 per ton. Tarif baru Rp 37.073 per ton.

Tarif bongkar muat mahal

Kepada metro7.co.id, Kamis (30/7/2020) di Toko Maha Putra, Henry Candra, seorang pengusaha yang bergerak di bidang bongkar muat di Pelabuhan Labuan Bajo membenarkan jika upah buruh belum dibayar. Upah buruh yang belum terbayar itu untuk jenis kerja bongkar muat barang kategori general cargo (GC) seperti minyak goreng, keramik, besi, snack, dan lain sebagainya.

Menurut Hery Candra hal itu disebabkan karena para pemilik barang atau pedagang enggan membayar kepada Koperasi TKBM. Mwreka enggan membayar karena menilai taruf yang ditetapkan itu terlalu mahal dan tidak wajar. Dampak tarif yang mahal itu sangat membebani para konaumen (masyarakat umum).

“Para pemilik barang merasa tarif bongkar muat terlalu tinggi dan tidak wajar,” ujar Hedy Candra, pemilik Toko Maha Putra di Labuan Bajo.

Tarif bongkar muat yang tidak wajar itu disebabkan karena Kepala Syahbandar menetapkan angka koefisien maksimum pada rumus penentuan tarif, sehingga harganya menjadi tinggi.

“Padahal, sesuai Keputusan Menteri Perhubungan No 35 Tahun 2007, cukup jelas mengatur rumus menghitung tarif bongkar muat barang. Misalnya, harga jual helm di toko saya Rp 30.000. Sementara, kalau saya tidak salah, mereka memasang koefisien maksimum harga hingga Rp 50.000,” imbuhnya.

Tarif bongkar muat yang magal, kata Hery Candra, sangat berdampak pada naiknya harga jual barang di toko-toko dan tentu saja mencekik para konsumen.

Demi kesejahteraan buruh

Terpisah, Kepala Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas II Labuan Bajo, Simon B. Baon yang dikonfirmasi media ini mengemukakan pendangan berbeda. Simon menjelaskan, tarif bongkar muat di Pelabuhan Labuan Bajo tidak begitu mahal jika dibandingkan daerah lain.

Dia bansingkan, di Pelabuhan Kabupaten Ende, misalnya, tarif berkisar Rp 60.000, dan di Pelabuhan Makassar, sebesar Rp 70.000. Sementara di Pelabuhan Labuan Bajo sebesar Rp 52.000, padahal Pelabuhan Larantuka, Kabupaten Flores Timur sebagai acuan dasar perhitungan tarif Pelabuhan Labuan Bajo sebesar Rp 53.000.

“Yang mereka permasalahkan yakni koefisien sedang. Itu adalah rumus sesuai Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2007,” terangnya.

Dia jelaskan, tarif OPP/OPT Pelabuhan Labuan Bajo ditetapkan, karena sejak beroperasi tahun 1994 lalu, belum mempunyai tarif dasar sesuai keputusan Menteri Perhubungan.

“Selama ini, yang diberlakukan hanya negosiasi antara pengusaha dan buruh, sehingga para buruh selalu dirugikan. Karena itu, penyelenggara pelabuhan mesti hadir sebagai pemerintah yang melihat dan mengakomodasi kepentingan kaum buruh dan hak-hak buruh sebagai tenaga kerja bongkar muat yang bekerja membantu para pengusaha,” terang Simon.

Simon menambahkan, selama kurang lebih 26 tahun, kesejahteraan para buruh di Labuan Bajo kurang diperhatikan. Asuransi yang seharusnya menjadi hak buruh, juga tidak ada. Karena itu, demi kepentingan para buruh, pemerintah berkewajiban melayani dan melindungi hak-hak buruh.

Hal inilah menjadi landasan atau dasar Kemenhub lewat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan dilaksanakan oleh UPT Ditjend perhubungan laut di daerah, yakni Kantor UPP kelas II Labuan Bajo. ***