Keselamatan Eskatologis
Oleh : Sil Joni *)
Tema seputar ‘eksistensi jiwa/arwah/roh/psyche’ yang bersifat immaterial dan immortal tak bisa diteropong dari sudut sains murni. Pengkultusan terhadap doktrin empirisisme dan materialisme membuat ‘diskursus’ soal keberadaan jiwa setelah kematian tak menarik bagi ‘ilmuwan empiris’. Persoalan semacam itu dianggap irelevan dan tak bisa diverifikasi secara saintifik.
Namun, logika ilmiah (metode kerja ilmu alam) hanya salah satu perangkat dan ‘sudut pandang’ dalam membedah realitas. Perspektif yang diusung dalam logika semacam itu, tentu saja bersifat terbatas. Seorang saintis murni pasti sadar akan keterbatasan ‘metodologi kerjanya’ dalam memahami semua misteri di balik universum yang maha-luas ini. Sang ilmuwan hanya mampu mendekati realitas yang bersifat fisik-material belaka.
Hal-hal yang bersifat ‘supra-natural dan adi-duniawi’ umumnya masuk dalam domain kerja filsafat, teologi, dan religiusitas. Refleksi tentang kekekalan jiwa dan keselamatan eskatologis menjadi kompetensi filsafat dan agama. Debat akademik seputar ‘adanya’ kehidupan setalah kematian badan (raga) selalu menarik untuk diikuti.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk berpartisipasi dalam sejarah perdebatan gagasan yang turut mewarnai perkembangan sejarah peradaban dunia saat ini. Saya hanya berkonsentrasi pada persoalan keselamatan jiwa yang bersifat eskatologis (dunia keabadian) yang menjadi ‘salah satu inti’ ajaran dari hampir semua agama di dunia ini. Kaum theis (mengakui keberadaan Tuhan) dan umat beriman umumnya sangat yakin bahwa ‘jiwa manusia’ tak lenyap bersama kehancuran tubuh.
Namun, nasib dari ‘arwah’ (jiwa yang terpisah dari badan) itu, tak bisa dipastikan. Tetapi, baik dalam kepercayaan agama asli (primal) maupun dalam agama-agama institusional (wahyu), meyakini bahwa nasib dari arwah itu sangat bergantung dari kesaksian dan cara hidup seseorang di dunia ini. Dengan kata lain, kehidupan di dunia ini merupakan antisipasi dan persiapan untuk masuk dalam kehidupan yang bersifat kekal itu.
Dalam iman kita mengakui bahwa ‘Ada Kekuatan yang bersifat Transenden’ yang berkuasa menentukan ‘nasib’ dari arwah setelah kematian badan itu. Kita tahu bahwa sebagai manusia kita kerab terperangkap dalam ‘kelemahan’ manusiawi. Kita sering tergoda untuk mengikuti keinginan daging. Keserakahan, ketamakan, kesombongan, iri hati, dengki, amarah, dendam dan sifat negatif lainnya menyebabkan manusia terjerembab dalam ‘kubangan dosa’.
Jika hidup manusia didikte atau dikendalikan oleh ‘perangkat nafsu badaniah’, maka besar kemungkinan arwah kita akan mengalami semacam ‘penyiksaan’ di akhirat. Tetapi, rupanya “Sang Ilahi” begitu mencintai manusia. Doa dan harapan dari keluarga atau sesama yang masih hidup ‘cukup diperhitungkan’ untuk menyelamatkan ‘jiwa yang tersiksa’ tersebut.
Kepercayaan dan keyakinan akan ‘kekekalan jiwa’ serta kebaikan dari Tuhan itulah yang membesarkan harapan kita untuk menghormati dan mendoakan arwah para leluhur dan segenap anggota keluarga yang sudah ‘beralih’ dari dunia fana ini. Kendati secara fisik, mereka sudah lenyap, tetapi kita percaya bahwa mereka tetap hidup di alam lain dan bahkan bisa menjadi ‘pendoa’ untuk kita.
Hari ini, Gereja (Katolik) sejagat memperingati “Hari Arwah’. Peringatan ini tentu tidak sebatas seremonial dan ritual keagamaan saja, tetapi sebuah kerinduan eksistensial untuk ‘selalu ada bersama’ dengan orang-orang yang kita cintai tersebut. Lantunan mazmur dan doa permohonan memang sangat penting dan dibutuhkan oleh para arwah itu, namun kenangan akan kebersamaan dengan mereka yang sudah berpulang itu, tentu menyadarkan kita bahwa hanya dalam cinta, kematian badan bisa dilampaui.
Di tengah kesemarakan pesta politik Pilkada, mari kita ke tempat ‘sepi’ untuk mengenang dan mendoakan para arwah tersebut. Sangat menarik dan membanggakan membaca dan melihat postingan dari para netizen yang dengan caranya sendiri ‘memberi arti’ terhadap momentum peringatan para arwah ini. Saya kira ini sebuah indikasi bahwa ‘rasa cinta’ kita pada mereka yang sudah meninggal dunia, tak terhapus oleh badai waktu.
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.