MANGGARAI BARAT, metro7.co.id –
Ibu janda itu tidak menghiraukan lalu lalang kendaraan yang melintas di ruas jalan Trans Flores. Nenek Ojom fokus dengan rutinitasnya menjual bensin eceran sambil menganyam tikar di sebuah gubuk. Gubuk itu berada samping gerai bensin di tepi jalan raya Trans Flores.

Nenek Siti Ojom (70) pengrajin tikar di Kampung Mamis, Desa Liang Ndara, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Nenek sembilan cucu ini mengaku lebih nyaman berada di gubuk tepi jalan raya itu ketimbang duduk di rumahnya. Dia berlasan nyaman menganyam tikar di pinggir jalan karena banyak calon pembeli yang lalu lalang di jalan raya. Sangat ramai dan strategis.

Gubuk berukuran 2×2m itu,
beratap sink dan berdinding terpal kusam warna orange dan sehelai papan triplek. Di bawah gubuk itulah nenek Ojom menganyam tikar sembari menunggu pembeli bensin.

“Saya anyam di sini sambil menjual bensin. Bensin ini saya punya. Bukan titipan anak-anak saya, atau orang lain,” ujarnya saat ditanya media ini.

Nenek Ojom sangat ramah menyapa media ini yang menghampirinya di gubuk itu, Sabtu (1/8/2020). Nenek Ojom membentang kisah tentang keterampilannya menganyam tikar sejak ia menikah hingga lanjut usia. Anyam tikar baginya merupakan mata pencaharian yang bisa dikerjakannya setiap hari.

Nenek Ojom menjelaskan, bahwa memilih tepi jalan sebagai lokus menganyam tikar, bukan karena tidak mempunyai rumah. Dia menganyam tikar sambil menjual bensin eceran.

“Saya , hanya fokus pada pengendara yang ingin membelikan bensin. Setelah melayani pembeli, saya lanjutkan anyam tikar,” ungkapnya.

Seperti disaksikan media ini di gubuk itu, jemari tangannya sangat cekatan dan lincah mengurai iriasan daun pandan kering (re’a). Di sampingnya ada sebilah pisau dan berbagai perlalatan sederhana. Sebilah kayu yang disebutnya “koes” untuk menghaluskan permukaan daun pandan. Ada juga benang wol untuk menjahit tepian tikar yang dianyam.

Nenek Ojom jelaskan, tikar hasil anyamannya itu dijual di tepi jalan. Tikar hasil anyamannya tidak dijual ke pasar. Para pembeli sering datang langsung ke rumahnya. Bahkan, ada juga yang pesan melalui keluarganya ukuran dan motif tikar dibuat sesuai pesanan.

“Harga tikar ini tidak mahal, Rp 100.000 saja. Kalau ada harga yang lebih dari itu, berarti pesanan khusus dengan paduan warna tertentu,” katanya.

Dia mengaku, untuk menghasilkan satu tikar berukuran 1× 3m, Nenek Ojom membutuhkan waktu 3 atau 5 hari. Dia tidak bisa menghasilkan satu tikar dalam sehari.

Menganyam tikar merupakan rutinitas sehari-hari. Buah karyanya untuk menopang perekonomian keluarganya.
Nenek Ojom menceritakan, saat masih gadis dulu, Dia belum terbiasa menganyam tikar. Dia hanya sebatas membantu ibunya, yang saat itu rutin menganyam tikar. Membantu mengambil pandan, misalnya. Dia terampil merajut dedaunan pandan hingga menghasilkan sehelai tikar karena dilatihnya ibunya sejak dia masih gadis. Saat berkeluarga, Dia kemudian mengakrabi aktivitas tersebut.

“Saya bersyukur bisa menganyam tikar sampai usia tua. Kebutuhan kami terpenuhi dari hasil penjualan tikar,” tuturnya.

Perlu diwariskan

Nenek Ojom mengungkapkan keprihatinannya terkait kurangnya minat ibu-ibu zaman now mwnjadi pengrajin tikar. Menurutnya, tikar sebagai salah satu yang dibutuhkan dalam ritual adat Manggarai yang mestinya diwariskan dari generasi ke generasi. Tetapi tidak banyak orang atau anak gadis yang mau menekuninya.

“Sekarang, lebih banyak yang usia senja seperti kami yang bisa menganyam tikar. Sementara, orang yang berusia remaja, atau muda-mudi sangat sedikit yang bisa dan punya minat untuk menganyam tikar. Beberapa anak saya saja, ada yang tidak tahu menganyam tikar,” jelasnya.

Nenek Ojom berharap pemerintah atau lembaga terkait jangan hanya memperhatikan pengrajin lain, seperti tas, topi, kain; tetapi juga pengrajin tikar. ***