RUU Provinsi NTT Wujudkan Kesejahteraan-Keadilan
JAKARTA, metro7.co.id – Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema,S.IP,M.Si yang akrab disapa Ansy Lema menegaskan, UU Nomor 64 Tahun 1958 menjadi landasan pembentukan Provinsi Bali dan NTB secara bersamaan, tidak lagi relevan dengan kondisi NTT saat ini.
“UU ini tidak lagi relevan dengan kondisi NTT saat ini. NTT harus memiliki UU tersendiri yang berisikan arah pembangunan ke depan, berdasarkan pada ciri, identitas atau karakteristik lokal NTT,” tegas Ansy Lema, salah seorang narasumber dalam acara Focused Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Badan Keahlian DPR RI di Jakarta, Jumat kemarin (6/11/2020).
Dalam diskusi tersebut hadir beberapa narasumber lainnya, seperti Ketua DPRD Provinsi NTT Emelia Nomleni, Bupati Manggarai Barat, Agustinus Dula, Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas, Pimpinan Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena, dan Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul.
Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka mencari masukan penyiapan konsep awal naskah akademik dan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi NTT.
Ansy Lema mengatakan, paradigma besar yang harus menjadi tujuan dari RUU Provinsi NTT adalah pengentasan kemiskinan yang menuju pada kesejahteraan serta keadilan.
Dalam FGD itu Ansy Lema menyatakan mendukung penyusunan RUU Provinsi NTT. Dia juga membeberkan data tentang realitas NTT saat ini. Dia jelaskan, NTT adalah provinsi kepulauan dengan jumlah pulau mencapai 1.192 buah dan didominasi oleh pertanian lahan kering serta merupakan beranda depan negeri.
NTT memiliki wajah kemiskinan, dengan persentase kemiskinan NTT (20,90%) jauh berada di atas persentase kemiskinan nasional (9,78%).
NTT adalah provinsi termiskin ketiga di Indonesia dan hanya memang dari Papua dan Papua Barat.
Distribusi terbesar ekonomi NTT ada pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, yaitu sebesar 28,00%.
Tiga sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan NTT (28,00%) adalah: peternakan (33,79%), tanaman pangan (29,09%), dan perikanan (19,07%). Artinya, slogan Nelayan, Tani, Ternak harus menjadi arah pembangunan ke depan, sesuai dengan karakteristik/ciri perekonomian NTT.
Dari sisi pertanian, yang harus dikembangkan adalah pertanian lahan kering. Total luas lahan kering 1,331 juta hektar.
NTT harus mengembangkan tanaman pangan lokal dan tanaman perkebunan serta hortikultura unggulan seperti jagung, sorgum, ubi kayu nuabosi, kopi, jeruk keprok soe, dsb.
Dari sisi peternakan, NTT harus mengembangkan peternakan babi. NTT adalah provinsi dengan jumlah populasi babi terbesar di Indonesia (27,26% yaitu 2,4 juta ekor dari total populasi babi nasional yang berjumlah 8.922.654 ekor di 2019).
Dari sisi perikanan, NTT perlu mengembangkan ikan, rumput laut, dan garam.
“Karena itu, saya menekankan bahwa RUU Provinsi NTT harus menjadi bentuk perlindungan, sekaligus peningkatan kesejahteraan nelayan, petani, dan peternak. RUU ini juga harus dapat memberikan solusi atas kemiskinan NTT,” kata Ansy Lema.*