LABUAN BAJO, metro7.co.id – “Dulu saya tidak mau datang ke sini. Tapi mereka yang bawa saya ke sini. Saya waktu itu nggak ada tujuan mau ke Labuan Bajo. Kota ini banyak maling”,ketus pria malang bersuara parau itu, Senin (2/11/2020) malam ketika ditemui Metro7.co.id dan Baranewsaceh.co di Jalan Sernaru Nomor 3, RT 12, Desa Wae Kelambu-Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Arus lalu lintas kendaraan roda empat dan roda dua di Jalan Sernaru terpantau ramai sekitar pukul 19.00 Wita. Lampu penerangan jalan tampak terang benderang.

Banyak pengunjung tampak sedang makan malam di Warung sate yang terletak tidak jauh dari Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda dan olahraga (PKO) Kabupaten Manggarai Barat.

Saya dan Rikardus Nompa, wartawan Baranewsaceh.co yang melintas di jalan itu serentak berhenti persis di depan warung sate itu. Kami nongol di situ bukan untuk makan malam. Nurani kami terpanggil tatkala melihat sosok seorang pria tua yang sedang duduk tepat di depan warung.

Pria tua itu berpakaian lusuh. Compang-camping. Ia duduk di tengah emperan trotoar jalan. Kepalanya tertutup topi loreng mirip topi TNI-AD. Kumisnya memutih. Kulit tubuhnya berkerut pertanda batang usianya mulai rapuh. Namun sinar matanya memancarkan secercah harapan yang tidak terdefinisikan.

Di sekelilingnya terdapat tumpukan kardus, potongan sink, piring plastik warnah merah jambu. Di samping tumpukan kardus bekas, ada karung berisi plastik kantung. Di belakangnya ada tumpukan botol air mineral dan plastik kantung yang tergantung di emperan trotoar.

Sepintas, tempat itu tampak seperti tumpukan sampah. Karena itu, sangat boleh jadi, para pengguna jalan yang lalu lalang di ruas jalan itu tidak menggubrisnya. Tidak sedikit orang yang menganggap pria tua bangka itu orang gila. Termasuk saya. Terkecoh. Awalnya saya menduga dia Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Sebaliknya, bising kendaraan yang hilir mudik di samping kiri-kanannya tak dihiraukannya. Ia hanya urus dirinya sendiri walau harus terseok-seok. Trotoar itu baginya adalah sebuah kediamannya. Trotoar jalan adalah rumah baginya.

 

Dicopet Maling

Bukannya memberi sedekah kepada orang miskin. Malah mencopet si fakir miskin tua ini. Informasi ini kami peroleh dari pemilik warung sate yang sedang sibuk melayani pengunjunganya.

“Dua hari belakangan ini, bapak itu tidak ke mana-mana karena uangnya hilang dicuri orang,” kata pemilik warung.

Menaruh iba padanya, kami memesan satu porsi nasi sate buat lelaki renta itu. Kami pun menghampirinya. Duduk di trotoar bersama dia. Kami membujuknya supaya mencuci tangan sebelum makan. Setelah cuci tangan, bapak tua enggan makan. Dia malah mengajak kami ngobrol. Belum ditanya, bapak tua itu berkisah tentang uangnya dicuri maling.

“Uang saya hilang. Tiga ratus ribu. Tiga hari lalu. Saya simpan dalam bungkus rokok surya. Saya simpan di bawah kepala. Saya tidur. Kota ini banyak maling,” ujarnya.membuka percakapan.

Bapak tua ini mengisahkan bahwa dia berasal dari Bali. Ia mengaku lahir pada zaman penjajahan Belanda. Sebelum tinggal di Labuan Bajo, ia mengaku pernah tinggal di Ruteng.

“Nama saya Subagia Hadiwijaya. Umur saya 100 tahun,” akunya sambil tertawa. “Saya dari Bali, Denpasar. Lahir saya tahun 1920 zaman Belanda. Barangkali anak tidak percaya.”

“Istri saya namanya Ilohanlentri. Dipanggil Lentri. Besar, tinggi. Pernah lewat di pertamina. Dia jual bensin. Istri saya waktu hamil gugur terus. Saya nggak pernah ke rumah. Sebelum jam dua saya bangun ikut mobil truk. Coba ngga gugur, pasti udah punya anak. Udah tiga kali kawin. Ini yang keempat kalau tercapai. Masih cari calon,” ujarnya sambil tersenyum.

“Keluarga saya jauh. Tinggal di Terang. Namanya Sensilius orang Manggarai.”

“Saya tinggal lama di sini. Lama. Lebih 20 tahun. Di sini terus. Dari datang sampai sekarang.”

“Kenal sama Jempo? Saya ada di sini kenal dia. Bapanya meninggal. Kemudian mamanya meninggal belakangan. Begitu. Mulai kenal sama mereka dengan mama Linda waktu di Ruteng. Mereka kasih makan. Mereka yang bawa ke Labuan Bajo. Kenal Frangky? Dia yang bawa saya ke sini. Kakaknya punya truk. Merknya Mitra Usaha kendaraannya di Ruteng.Saya pernah ditato sama Yos yang ngatur mobil itu.”

“Sebenarnya banyak kerja. Saya dulu kerja bangunan. Plester itu. Tapi saya takut jatuh. Gemetar tangan saya. Saya pernah jatuh dari pohon kelapa. Kaki saya keseleo. Makanya kaki saya seperti ini. Saya pernah luka kena sabit. Luka”, kisah bapak tua malam itu.”

Ibu Erni, warga RT 12, Sernaru menjelaskan, dia mengenal bapak tua sejak lama.

“Dulu dia tinggal di komplek kecamatan. Dulu dia sering pakai sepeda ke sini. Kami biasa panggil dia Mas Thomas. Dia tidak tahu keluarganya di mana”, ujar Ibu Erni kepada Wartawan.

Menurut dia, orang tua itu oràng baìk. Tidak mengganggu orang lain. Warga setempat sangat iba pada Mas Thomas. Beri dia makan. Beri uang.

“Orang sini rasa sosialnya tinggi. Kadang kasi makan. Ada oma Tedi di sebelah beri dia tempat tinggal. Tapi dia nyenyel. Tidak mau diatur. Pipis sembarang, BAB sembarang. Kita kan ingin jaga kesehatan. Mungkin karena usianya. Makanya dia tinggal di sini. Tapi dia orang baik. Tidak bikin menyusahkan orang lain,” tutur ibu Erni.

Setelah berdiskusi ria malam itu, saya tak pernah melihat dua lagi. Saya beberapa kali melintasi ruas jalan itu tapi tidak melihat dia duduk di trotoar itu lagi. Saya tak pernah menduga kalau bapak tua itu jatuh sakit dan terpapar corona hingga pergi selamanya.

 

Meninggal Dunia

Senin (30/11) saya menulis berita tentang salah seorang pasien positif covid-19 meninggal dunia di RSUD Komodo. Sekitar pukul 13.00 Wita, saya dan sejumlah wartawan lainnya menyambangi RSUD Komodo.

Sebuah peti jenazah tampak parkir di halaman belakang RSUD Komodo. Di depan peti jenazah itu, satu unit mobil ambulance warna hitam milik RSUD Komodo sedang parkir. Pintu belakang mobil ambulance itu tampak terbuka.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat, Paulus Mami dan Plt.Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mabar, Abdullah Nur juga ada di halaman belakang RSUD Komodo bersama sejumlah wartawan dari berbagai Media.

Tak lama berselang, dua petugas kesehatan berpakaian APD lengkap membawa peti jenazah itu masuk ke ruangan mayat. Beberapa menit kemudian, peti jenazah diantar masuk ke mobil ambulance tadi lalu meluncur meninggalkan RSUD Komodo sekitar pukul 13.51 Wita.

Saya dan sejumlah Wartawan lainnya ikut di belakang mobil dinas Kadis Kesehatan. Tiba di depan Kantor Infokan Mabar. Sepeda motor kami parkir di depan Kantor Infokan. Saya dan empat teman Wartawan menumpang mobil Kadis Kesehatan meluncur menuju TPU Menjerite, lokasi pasien positif covid-19 dikuburkan.

Saat meliput prosesi penguburan jenazah, saya diberitahu Wartawan TVRI NTT, Alexandro Hattol bahwa jenazah yang sedang dikuburkan itu adalah bapak tua yang sebelumnya pernah berdiskusi dengan saya di trotoar jalan Sernaru, Senin (2/11) malam itu.

Saya serta merta tersentak kaget. Penasaran dengar info tersebut, saya dan teman-teman Wartawan mewawancarai Kadis Kesehatan, Paulus Mami.

“Pasien yang meninggal ini, pertamanya dirawat oleh Suster yang mengurus panti asuhan. Urus tentang kemanusiaan. Suster dari Korea. Orang-orang yang kurang mampu mereka tampung di sana. Suster itu melihat bapak Subagja ini dia lihat di jalan pertamanya. Suater bawa dia ke Biara. Sampai di sana dia sakit. Lalu suster bawa dia ke RSUD Komodo. Tanggal 22 Nopember menurut informasi bawa ke rumah sakit dan dirawat di RSUD Komodo,” katanya.

Senin (30/11) sore, saya menyusuri kawasan Cowang Dereng, Desa Batu Cermin mencari tahu alamat Biara Kkottongnae yang terletak di Jalan Mangga Golek, Desa Batu Cermin, Labuan Bajo.

Tiba di sana, biara tersebut tampak sepi. Pintu gerbangan terkunci. Tampak di dalam halaman dekat pintu gerbang itu tiga laki-laki bermasker sedang duduk. Dari luar pintu gerbang yang terkunci itu, saya perkenalkan diri kepada ketiga lelaki itu, bahwa ingin bertemu Suster di Biara tersebut.

Tak lama berselang, seorang laki-laki datang dari dalam Biara memberitahu bahwa suster sangat cape. “Suster cape. Pintu ini dikunci,” ujar laki-laki itu.