JAKARTA, metro7.co.id – Ombudsman RI melalui Keasistenan Utama III telah melakukan kajian sistemik tentang pencegahan maladministrasi pada layanan tata kelola industri sawit dari bulan Mei hingga Oktober 2024.

Kajian sistemik ini bertujuan untuk memberikan potret menyeluruh tentang persoalan-persoalan terkait tata kelola perindustrian kelapa sawit di Indonesia yang berpedoman pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia bahwa salah satu tugas Ombudsman adalah melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam pelayanan publik.

Bertempat di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Yeka Hendra Fatika selaku Anggota Ombudsman RI menyampaikan bahwa kajian ini melibatkan 51 pihak yang memiliki kepedulian dalam tata kelola industri kelapa sawit.

Industri kelapa sawit memiliki kontribusi besar dalam perekonomian Indonesia bahkan dapat menyerap hingga 17 juta pekerja. Nilai kapasitas industri sawit menurut Badan Kebijakan Fiskal pada tahun 2023 diperkirakan mencapai Rp729 triliun per tahun, kontribusi APBN mencapai Rp88 triliun bahkan jumlah buyer mencapai 1700 yang tersebar di 131 negara.

”Di balik kontribusi besar perindustrian kelapa sawit di Indonesia tentunya tidak terlepas dari beberapa tantangan besar yang dihadapi khususnya terkait tata kelola, keberlanjutan dan keadilan sosial. Salah satu isu yang menjadi perhatian Ombudsman adalah potensi maladministrasi dalam pengelolaan industri kelapa sawit dari aspek perizinan, lahan, niaga dan kelembagaan,” tegas Yeka.

Dalam konferensi pers yang dilakukan, Yeka menjelaskan beberapa temuan terkait tata kelola industri sawit di Indonesia mulai dari ketidakjelasan atau tumpang tindih regulasi.

Banyaknya peraturan yang ada justru membuat pelaku usaha kebingungan tentang prosedur yang harus diikuti sehingga menciptakan ruang untuk terjadinya praktik maladministrasi.

Ketidakjelasan perizinan yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang ada, pengawasan yang lemah terhadap industri kelapa sawit baik di tingkat pusat maupun daerah, serta kurangnya koordinasi antar lembaga.

Temuan-temuan tersebut menunjukkan adanya kelemahan struktural dan prosedural tata kelola industri kelapa sawit yang perlu diatasi.

Lebih rinci Yeka menjelaskan, beberapa temuan yang didapatkan dari kajian sistemik yang telah dilakukan.

Salah satunya terkait temuan aspek lahan yang menunjukkan bahwa terdapat 3.222.350 ha lahan yang mengalami tumpang tindih dan dari banyaknya temuan lahan yang tumpang tindih dari 3.325 Subjek Hukum (SH) hanya 199 yang selesai dan 3.036 SH yang belum selesai sehingga hal ini menunjukkan masih kurangnya kepastian penyelesaian inventarisasi SK DATIN terhadap lahan perkebunan sawit.

Lebih lanjut, Yeka menyebutkan, kerugian dari lahan perkebunan yang mengalami tumpang tindih mencapai Rp.74,1 triliun. Selain itu masih banyak lagi potensi kerugian dari aspek-aspek lain yang dikaji dalam kajian tematik ini.

”Total potensi nilai kerugian dalam tata kelola industri kelapa sawit adalah Rp279,1 triliun per tahun,” papar Yeka.

Besarnya potensi kerugian tata kelola industri kelapa sawit di Indonesia menunjukkan urgensi pembuatan tata kelola yang lebih efektif dan terintegrasi.

Beberapa saran perbaikan yang dijelaskan antara lain perlu segera dilakukan perbaikan sistem perizinan pendirian pabrik dan menata administrasi, serta membuat kebijakan terintegrasi tata niaga hasil produksi perkebunan sawit baik di pasar nasional maupun internasional.

Selain itu, disarankan untuk membentuk Badan Nasional di bawah Presiden RI untuk menata kelola perindustrian sawit.

“Dengan dibentuknya kelembagaan badan sawit diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan terkait izin dan kebijakan serta dianggap mampu untuk menyelesaikan masalah tata niaga terkait tata kelola sawit dari hulu ke hilir,” tutup Yeka.