Ombudsman Temukan Indikasi Maladministrasi Tumpang Tindih Regulasi Kelapa Sawit
JAKARTA, metro7.co.id – Ombudsman RI menemukan indikasi potensi maladministrasi pada tata kelola industri kelapa sawit yang ditandai dengan adanya tumpang tindih regulasi.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan, pihaknya akan turun ke lapangan bersama-sama dengan para stakeholder terkait lainnya untuk melihat bagaimana implementasi regulasi pada Tata Kelola di industri Kelapa Sawit.
“Kita akan turun bareng-bareng, kita ajak para stakeholder terkait. Kita akan lihat sama-sama penerapan regulasi di lapangan bagaimana. Sejauh mana penyimpangan terjadi di lapangan,” ujarnya saat Diskusi Publik Pencegahan Maladministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin (27/5).
Yeka mengatakan, ada beberapa regulasi yang membuat pelayanan publik pemerintah di industri kelapa sawit terganggu.
“Adanya tumpang tindih izin lahan. Misalnya lahan kelapa sawit yang dianggap masuk kawasan hutan. Mau sampai kapan masalah ini berlarut? Ini harus ditata tanpa ada pihak yang dirugikan,” tegas Yeka. Ombudsman juga mempertanyakan bagaimana kesejahteraan petani kelapa sawit selama ini.
Terkait persoalan tumpang tindih lahan dan kawasan hutan serta perizinan, Ombudsman melihat terdapat benturan regulasi antara rezim kawasan dan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang membingungkan petani dan pelaku usaha mulai dari penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan.
Ombudsman dalam hal ini telah memetakan masalah dalam tata kelola industri kelapa sawit.
Pertama, terkait lahan dan perizinan seperti kepastian ijin lokasi lahan perkebunan sawit, terkendala isu antara lain overlapping kawasan (hutan, HGU, adat).
Kedua, permasalahan tata niaga, meliputi produk sawit terkendala kebijakan DMO untuk memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri.
Selain itu, pengolahan produk sawit juga terkendala kemitraan antara petani rakyat dengan industri.
Terkait harga, Ombudsman menemukan tidak dapat memberikan keuntungan bagi petani, masyarakat, bahkan pedagang minyak goreng sawit. Terkait teknologi, target peningkatan produktivitas per hektar belum terpenuhi.
Terkait jumlah aduan pada isu perkelapasawitan, Yeka menyebutkan, data menunjukkan pada kurun waktu 2018-2024, setidaknya terdapat 239 aduan masyarakat yang disampaikan kepada Ombudsman RI.
Adapun tiga substansi aduan Masyarakat tertinggi pada isu perkelapasawitan adalah substansi agraria (pertanahan dan tata ruang) sebanyak 69 aduan, substansi perkebunan, pertanian dan pangan sebanyak 36 aduan, dan substansi penegakan hukum sebanyak 24 aduan.
Tahun ini, Ombudsman akan melakukan kajian systemic review mengenai pencegahan maladministrasi pada layanan tata kelola industri kelapa sawit.
“Pencegahan maladministrasi ini sebenarnya cara paling soft untuk perbaikan pelayanan publik karena bentuknya saran. Tapi kami bisa keluarkan produk yang sifatnya memaksa. Sehingga untuk permasalahan yang paling urgen, misal perlu pencabutan suatu regulasi, maka Ombudsman bisa memberikan tindakan korektif dan rekomendasi yang sifatnya lebih mengikat,” ucap Yeka.
Diskusi publik ini menghadirkan beberapa narasumber yakni, Ketua Pusat Riset Sawit Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Budi Mulyanto, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Ernest Gunawan.
Dengan penanggap di antaranya Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim dan Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Puti Juli Ardika.