BANGKA BELITUNG, metro7.co.id – Masyarakat Kabupaten Bangka digemparkan oleh kondisi keuangan Pemkab yang dilaporkan mengalami kesulitan.

Berbagai spekulasi mencuat, mulai dari jumlah tenaga honorer yang membengkak hingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak mencapai target.

Situasi ini memunculkan pertanyaan besar terhadap kebijakan Penjabat (PJ) Bupati saat ini, yang masyarakat mulai meragukan apakah PJ Bupati benar-benar memperjuangkan kewajiban Pemkab serta memenuhi hak-hak pegawai dengan maksimal.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Benarkah postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak seimbang?

Apakah isu yang berkembang di masyarakat bisa dipertanggungjawabkan?

Secara umum, PAD terdiri dari beberapa komponen, yang telah diatur dalam regulasi Kementerian Keuangan. Beberapa antaranya adalah:

1. Pajak Daerah, yaitu kontribusi wajib yang dibayarkan oleh individu atau badan sesuai undang-undang tanpa imbalan langsung (UU No. 28 Tahun 2009).

2. Retribusi Daerah, yakni pungutan oleh pemerintah daerah sebagai pembayaran atas pelayanan tertentu yang diberikan kepada individu atau badan (UU No. 28 Tahun 2009).

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, sebagaimana diatur melalui Peraturan Daerah.

4. Lain-lain PAD yang Sah, yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah, jasa giro, pendapatan bunga, tuntutan ganti rugi, dan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah.

Keberhasilan pengelolaan PAD sangat bergantung pada kinerja Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang dipimpin oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran (Banggar).

Namun, yang menjadi tanda tanya besar adalah, jika akar permasalahannya berasal dari kebijakan masa lalu, mengapa dampaknya baru terasa sekarang?

Apakah ada kebijakan yang keliru atau penyebab lain yang membuat target PAD tak mampu menutup belanja pegawai?

Lebih mengherankan lagi, kebutuhan gaji pegawai dan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN tidak mengalami perubahan signifikan, tetapi PAD tahun ini mengalami penurunan drastis. Lalu, mengapa jumlah tenaga honorer tiba-tiba menjadi isu?

Mengapa permasalahan ini tidak mencuat ketika Bupati definitif masih menjabat?

Di tengah sorotan tajam ini, masyarakat perlu lebih bijaksana dalam menanggapi isu.

Tidak seharusnya kesalahan hanya ditimpakan kepada pejabat yang baru saja menduduki jabatan.

Pejabat baru ibarat pemain pengganti dalam sebuah pertandingan, sementara pemain inti yang mengelola jalannya pemerintahan tetaplah para pegawai Pemkab Bangka.

Kunci pengelolaan APBD berada di tangan TAPD. Jika terjadi pemotongan anggaran, apakah kita harus menyalahkan mereka yang sudah tidak lagi menjabat?

Logikanya, tidak adil jika masyarakat justru menuding orang-orang yang tidak lagi memegang kendali kebijakan.

Selama dua tahun berturut-turut di masa pandemi Covid-19, defisit anggaran tidak terjadi. Bahkan, tidak ada pemotongan honor tenaga kontrak atau TPP pegawai.

Semua pembiayaan berjalan lancar berkat adanya kerja sama solid antara eksekutif dan legislatif. Fokus serta keseriusan dalam mengelola daerah menjadi kunci keberhasilan.

Oleh karena itu, alangkah bijaknya jika seluruh pemangku kepentingan duduk bersama, merumuskan solusi komprehensif untuk menarik benang kusut yang menyelimuti keuangan Pemkab Bangka.

Langkah penyelesaian yang menyeluruh tentu lebih baik daripada sekadar menyalahkan dan mengambil kebijakan sepihak yang merugikan