MAYBRAT, metro7.co.id – DRPD Provinsi Papua Barat Fraksi Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Agustinus Kambuaya, SE mengatakan reses III yang digelar di Distrik Ayamaru Timur, Ayamaru Tengah dan Ayamaru Selatan pada Tanggal 9-11 November 2020.

Dalam Kunjungan Reses III DPRPB Fraksi Otsus itu kata dia merupakan penjaringan aspirasi, menghimpun, mengumpulkan sejumlah informasi penting. Baik informasi tentang permasalahan maupun juga rekomendasi, usul saran bahkan kritik yang di dapatkan dari masyarakat melalui momen reses III itu.

“Sebagai Anggota DPR PB Fraksi Otsus, telah mendengar dan menyimak secara langsung aspirasi dari masyarakat Papua berkaitan peroalan adat mencakup Hak-hak Masyarakat adat. Hak atas tanah, hak milik, hak atas hutan bahkan ruang kelola masyarakat adat. Ruang hidup masyarakat adat berada pada wilayah adat mereka masing-masing,” ujarnya kepada Metro7 melalui telefon selulernya Senin, (16/11).

Menurut Agustinus Kambuaya bahwa sebelum masyarakat menyampaikan aspirasi, kendala, keluhan, usul, saran bahkan pernyataan pernyatan. Terlebih dahulu kata dia kami harus menjelaskan status kedudukan dan fungsi sebagai Anggota DPRPB Fraksi Otsus yang melalui mekanisme pengangkatan yang merujuk kepada Perdasus Nomor 4 Tahun 2019.

“Jadi tugas Pokok DPR PB Fraksi anggaran dan pengawasan, lebih khusus lagi mengawal Implementasi UU Otsus dan anggaran agar memastikan tepat kepada orang Papua. Proteksi, afirmasi dan pemberdayaan kepada masyarakat asli Papua. Hak-hak yang melekat pada masyarakat adat orang asli Papua perlu di hargai, di lindungi dan di berdayakan,” sebut Agustinus.

Lebih jauh Agustinus menjelaskan UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001 Bab X Point 4 yang mengatakan bahwa Negara Menjamin Hak-hak masyarakat adat. Sehingga setiap pembangunan yang mengunakan tanah milik masyarakat adat, wajib menghormati hak-hak masyarakat adat termasuk penggunaan tanah-tanah milik masyarakat adat untuk kepentingan umum perlu mendapat persetujuandari pemilik masyarakat adat.

“Memang hasil reses III itu banyak persoalan yang di ungkapkan masyarakat termasuk hak-hak masyarakat adat orang asli Papua di wilayah Maybrat. Karena sesuai UU Otsus Bab XI yang menghendaki bila adanya pembangunan yang di lakukan oleh pihak pemerintah dan Swasta wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat di wilayah setempat, namun kenyataannya justru sebaliknya, banyak hak masyarakat adat di langgar,” kata dia.

Tokoh wilayah Ayamaru tengah Marthen Kareth mengatakan apa yang tertulis dalam UU Otsus yang menjamin hak-hak masyarakat adat itu benar, namun yang terjadi itu pembangunan baik pihak swasta maupun pemerintah selalu melakukan aktivitas terlebih dahulu tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat adat.

Nanti setelah pekerjaan atau pembangunan yang melintas di wilayah masyarakat adat palang barulah ada negosiasi dan kompensasi.

Karena masyarakat adat melakukan aksi palang itu atau konflik antara marga di masyarakat adat itu. Ini semestinya tidak boleh, hal itu juga dikeluhkan tokoh tokoh lainnya.

Selain itu Merry Kareth, mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan di Maybrat adalah pendidikan melalui dana Otsus itu sampai pada pendidikan muatan lokal (mulok).

“Seperti bahasa-bahasa asli atau lokal di Kabupaten Kota di Papua Barat khususnya di Maybrat ini. Generasi Maybrat saat ini sudah tidak bisa berbahasa daerah. Mestinya Papua yang punya kekhususan Otsus ini perlu di dorong perdasus tentang pendidikan bahasa daerah dan muatan lokal di Maybrat. Sejauh ini 20 Tahun Otsus implementasi pendidikan budaya ini tidak jalan,” katanya.

Pembangunan fisik selama ini, menurutnya tidak di sertai dengan pelestarian
kebudayaan. Ini masalah yang serius yang perlu di dorong oleh DPR Otsus dan perlu juga ada pembangunan kantor
pusat seni dan budaya di tanah Papua barat. Termasuk, lembaga Dewan Adat Papua (DAP) maupun LMA dan perlu juga ada dukungan anggaran pemerintah agar peran lembaga adat memperjuangkan aspirasi masyarakat adat.

“Banyak permasalahan masyarakat adat
yang perlu di kerjakan dan itu membutuhkan kantor, operasional dan anggaran. Masyarakat adat yang punya tanah, hutan dan sumberdaya. Perlu melibatkan masyarakat sebagai pemilik hak ulayat, jangan di jadikan masyarakat sebagai obyek eksploitasi saja. Pajak-pajak
dari hasil sumberdaya alam masyarakat adat perlu di bagi adil dan merata ke pemilik ulayat,” harapnya.

Dalam reses III tersebut, masyarakat berharap perlunya ada lembaga atau masyarakat adat perlu dilibatkan dalam setiap perencanan pembangunan agar mereka ikut memberikan masukan, dan pentingnya mendapat pertimbangan dan persetujuan atas setiap program yang akan di kerjakan oleh pemerintah yang bersentuhan atau diatas tanah masyarakat adat. Karena selama ini, pemerintah tidak perlu dengan masyarakat adat dan merasa berkuasa untuk mengambil keputusan atau memutuskan sendiri. *