Pemilu yang Kumuh: Politik Dinasti dan Obituari Demokrasi
Oleh: Gilang Virginawan
BANGKA BELITUNG, metro7.co.id — Rabu, 14 Februari 2024 akan digelar prosesi sakral bagi 270 juta jiwa penduduk Indonesia, yaitu pemungutan suara sebagai konsekuensi logis dari pilihan bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD I dan DPRD II).
Tentu setiap dari kita selalu berharap serta berikhtiar untuk terwujudnya penyelenggaraan Pemilu yang betul-betul demokratis, sehingga bermuara pada lahirnya pemimpin yang mampu membawa kita pada perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Istilah “kumuh” ini penulis gunakan untuk menggambar kan kondisi pesta demokrasi dengan kualitas buruk dan tidak sehat, tempat perlindungan bagi praktek oligarki serta sumber penyakit bagi tatanan sosial masyarakat yang akhirnya akan menular ke generasi-generasi muda ke depannya.
Lihat saja pemandangan di sepanjang jalan dari kota hingga kedesa, dipenuhi dengan alat peraga kampanye yang membuat sakit mata dan kepala, bahkan tidak jarang membuat celaka bagi pengguna jalan.
Daftar Calon Tetap anggota legislatif serta paslon Presiden dan Wakil Presiden RI telah diumumkan oleh KPU.
Kita semua dapat menyaksikan dengan seksama, bahwa kontestan pada pemilu ini semakin menunjukkan kemunduran pada proses regenerasi kepemimpinan Bangsa.
Sedikitnya ada beberapa contoh yang coba penulis sampaikan, yaitu politik dinasti dan politik tanpa narasi.
Wajah-wajah lama masih akan tetap menghiasi surat suara, jika pun ada wajah baru tetapi sejatinya itu bagian dari titisan wajah lama.
Pasalnya, wajah-wajah baru yang muncul tidak sedikit berasal dari kalangan keluarga, kerabat atau kolega dari tokoh sebelumnya.
Semacam menjadi strategi paling jitu bagi para elit politik untuk mengikut sertakan suami, istri, adik, kakak, anak atau menantu dari para penjabat sebelumnya.
Di Bangka Belitung misalnya, beberapa istri, adik atau kakak dari kepala daerah periode sebelumnya ikut serta sebagai kontestan pada Pemilu kali ini.
Musibahnya adalah, mereka-mereka yang berkontestan sampai hari ini tidak menunjukkan kelayakan dan kecakapan.
Realitas ini semakin memperkuat adanya praktik politik dinasti, kemunduran besar atau bahkan kematian (obituari) bagi demokrasi di Indonesia.
Politik dinasti adalah ancaman besar bagi demokrasi; tidak substansial, tidak adil dan cendrung berpihak kepada keluarga/kerabatnya. Begitulah keadaan yang tepat dalam menggambarkan politik dinasti.
Cara-cara ini mengabaikan kompetensi, sebab kekuasaan diberikan kepada keluarga terdekat tanpa melihat kapabilitas individu tersebut.
Padahal, amanat reformasi sudah sangat jelas untuk menghilangkan praktik KKN di negara ini. Politik dinasti dapat menjadi ancaman bagi kebangkitan praktik-praktik jahat di zaman orde baru.
Socrates pernah berkata politik yang ideal adalah politik adu ide dan gagasan, artinya bukan sebatas adu iklan dan besar-besaran baliho atau nyinyiran pada baliho/reklame di jalanan dengan berbagai kata dan slogan yang sejujurnya menggelikan mata.
Itu sebabnya penulis gunakan istilah kumuh, jalanan dengan taman sebagai pembatas jalan menjelma menjadi dudukan bagi bendera partai, reklame yang harusnya memberikan informasi bersifat edukatif menjadi tempat fasilitas nyinyiran bagi mereka yang tak bernarasi dan hanya berbekal eksistensi.
Hindari memilih pemimpin atau wakil rakyat yang membangun politik dinasti, berpihak kepada oligarki dan tidak mempunyai gagasan konkrit untuk kemajuan daerah dan negara.
Kita harus ambil peran dan kritis dalam memilih, sebab pilihan kita berdampak bagi keberlangsungan bangsa dan negara ini.
Jadilah pemilih yang cerdas, selalu ingat bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.