Rektor Unmuh Babel Propagandakan Kolom Kosong, Tokoh Pendiri Provinsi Sentil Fadilah Sobri
BANGKA BELITUNG, metro7.co.id – Pernyataan Rektor Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Bangka Belitung (Babel), Ir Fadilah Sobri yang mengampanyekan kolom kosong dalam sebuah gelaran acara di Pangkal Pinang beberapa hari lalu memantik reaksi publik.
Pernyataan Fadilah Sobri itu menurut sebagian pihak tak etis dilontarkan oleh seorang rektor universitas ternama sekelas Muhammadiyah.
Bahkan seakan membuat citra negatif terhadap partai politik di mata publik karena seolah-olah APBD hanya diperuntukkan bagi kepentingan kelompok partai semata.
Padahal, sebagaimana mekanismenya, APBD sudah diporsikan ke bidang-bidang kegiatan dan telah dibuatkan perencanaan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perencanaan itu mulai dari tahap musrenbang desa, kecamatan, kabupaten, termasuk melalui RKPD serta SIPD, untuk semua kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran.
Adapun mengenai sosok Fadilah Sobri sendiri, sebelum menjabat rektor Unmuh Babel, dirinya diketahui memiliki rekam jejak politik praktis.
Fadilah pernah berlaga di Pilkada Bangka 2018 sebagai calon wakil bupati dari KMS Danil, tapi berujung dikalahkan oleh pasangan calon lain ketika itu, yakni Mulkan-Syahbudin.
Seolah tak kapok, Fadilah kembali mencalonkan diri di Pileg DPRD Provinsi Babel pada 2019 lalu, namun lagi-lagi harus menuai kegagalan pahit secara beruntun.
Terkait ajakan untuk mendukung kolom kosong itu, salah seorang tokoh pejuang pendiri Provinsi Babel, Effendi Harun, terpantik untuk mengkritik pernyataan Fadilah Sobri.
Dalam wawancara, Selasa (8/10) malam, Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Babel tersebut tegaskan, jangan sampai ujaran yang dilontarkan oleh Fadilah Sobri itu berujung fitnah, lantaran tidak didasari data faktual, dan hanya sebatas asumsi pribadi.
Effendi berkata, Fadilah hanya berumpama atas kekhawatiran yang belum terjadi, tapi kemudian menjustifikasikannya tanpa pembuktian.
“Berumpama kalau kolom kosong kalah. Namun yang saya sayangkan dalil selanjutnya beliau itu men-justice kalau kolom kosong kalah, seolah akan terjadi kiamat kecil lah bagi rakyat,” ujar Effendi.
Daripada menggiring persepsi masyarakat ke jurang skeptisisme, Effendi justru menyarankan Fadilah Sobri agar memperkuat kekuatan sosial masyarakat melalui gerakan ekstra-parlementer, seperti mengaktifkan fungsi kontrol NGO (non-governmental organization).
Fungsi NGO, menurut Effendi, jauh lebih efektif dalam mengontrol kuasa legislatif dan eksekutif ketimbang memasrahkan nasib lewat kolom kosong.
Sebab, kata Ketua KNPI Bangka dekade 2010-an itu, kolom kosong hanyalah perwujudan aspirasi masyarakat untuk menyatakan setuju atau tidak terhadap kandidat pasangan calon (paslon) saja.
“Jadi tafsiran saya itu bukan peserta vs peserta. Karena kolom kosong itu bukan peserta Pilkada, jadi dia diversuskan dengan calon yang ada,” ungkapnya.
Apalagi hari ini, lanjutnya, ada tiga kabupaten di Babel yang memiliki calon tunggal Pilkada.
Situasi tersebut, kata dia, tidak bisa disamakan kondisi sosial-politiknya antara satu sama lain karena track record masing-masing kandidat paslon pun saling berbeda.
Berkaitan dengan status kolom kosong sendiri, Effendi berkata, kandidat paslon memungkinkan untuk menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika di Pilkada nanti justru kolom kosong yang menang.
Karena menurutnya, kolom kosong bukan sosok peserta Pilkada, sehingga bakal menimbulkan konsekuensi hukum kalau capaian suaranya melebihi suara sah kandidat paslon.
“Ada. Menurut saya sangat jelas terbuka, ketika dipersyaratan UU Pilkada sosok manusia yang betul-betul nyata. Sedangkan kolom kosong itu bukan lah peserta. Jadi kita bisa gugat ke MK jika sampai calon tunggal kalah dengan kolom kosong,” imbuhnya.
Untuk membangun optimisme politik publik, dia menyarankan supaya tidak membuat berita atau informasi yang tak menyejukkan suasana batin masyarakat jelang Pilkada.
Ia berharap masyarakat bisa mencoblos sesuai kehendak sendiri di Pilkada nanti, tanpa perlu mengasah perbedaan yang sedang terjadi.
“Kita tidak perlu tajam terhadap perbedaan, tapi bukan berarti tidak boleh berbeda. Tapi jangan juga menganggap demokrasi tidak berjalan. Ini yang membuat kita mesti berpikir lebih jernih, karena diperlukannya semangat membangun daerah secara bersama-sama usai Pilkada nanti,” tutup Effendi.