Oleh : Muhammad Darwin, Sekretaris DPD GPM Kalbar

Marhaenisme merupakan teori dan praktik, pandangan-dunia (world-view) dan aksi penolakan terhadap segala bentuk penindasan yang terjadi dalam sistem kapitalistik. Marhaenisme adalah nasionalisme yang hendak mengangkat kaum marhaen dengan membangkitkan kesadaran kelas mereka untuk menuju masyarakat adil makmur berkesejahteraan.

Marhaenisme berdiri dengan 3 asas, yakni Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertama, Sosio-Nasionalisme merupakan kesadaran nation yang dimiliki setiap warga Indonesia, kesadaran akan identitas kebangsaan untuk merdeka, mandiri, dan berdaulat. Identitas yang memberikan penghargaan setinggi-tingginya bagi kemerdekaan segenap bangsa di dunia untuk bersama-sama meraih kemerdekaan dari imperialisme.

Pertama Sosio-Nasionalisme adalah kesadaran nasionalisme yang berperi kemanusiaan, kesadaran yang membangkitkan Bung Karno menginisiasi berbagai forum internasional guna mengonsolidasi negara-negara terjajah untuk bangkit dari ketertindasan.

Karena itulah, dalam kasus Palestina yang terjajah – sebagai contohnya, Bung Karno dengan lantang berkata, “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel!”

Kedua, Sosio-Demokrasi, demokrasi yang berorientasi pada keadilan sosial: memberikan jaminan politik bagi setiap diri untuk menentukan pilihan secara merdeka, dan di saat yang sama memberikan perlindungan ekonomi bagi segenap rakyat untuk meraih kesejahteraan.

Ketiga, Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai orientasi vertikal yang membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa relijius, yang berketuhanan.Ketiga asas yang bersumber dari kearifan peradaban Nusantara itu bermetamorfosa menjadi Pancasila.

Marhaen bukan semata-mata nama petani yang secara tak sengaja dijumpai Ir. Soekarno. Marhaen adalah perlambang masyarakat Indonesia yang menderita bukan karena kemalasannya atau kebodohannya, melainkan karena disengsarakan oleh imperialisme dan sistem kapitalisme.

Menurut Dr. Fahruddin Faiz, Marhaen adalah setiap orang Indonesia yang bersedia bekerjasama untuk membangun sebuah tatanan sosial yang adil, yakni Sosialisme Indonesia. Karena itulah, Marhaen bisa mewujud pada banyak sosok: petani, buruh, pegiat sosial, bahkan seorang pemimpin seperti Bung Karno. Kita semua adalah rakyat Marhaen.

Kesadaran Kelas Marhaen: Bersatulah, Marhaen!

Kesadaran kelas merupakan kepercayaan yang dimiliki seseorang tentang kelas sosial atau tingkatan ekonominya di masyarakat, struktur kelas, dan kepentingan kelas mereka (Pertiwi, 2018). Kesadaran kelas menyatukan perjuangan sebuah kelas, sehingga permasalahan yang dihadapi oleh salah satu anggota dari kelas tersebut disadari sebagai sampel dari masalah yang jauh lebih besar: eksploitasi.

Agar tampak samar, bahkan oleh kaum cerdik pandai, eksploitasi dikenakan jubah kebaikan. Pada titik ini, terjadilah hegemoni dan alienasi. Kaum menengah, yang notabene adalah kelas Marhaen, tak menyadari proses eksploitasi pada dirinya sedang terjadi. Alih-alih asyik-masyuk di “zona nyaman”, mereka abai terhadap realitas penindasan yang terjadi atas dirinya. Imperialisme masih ada, bukan fisik dan teritori, melainkan budaya dan pemikiran.

Imperialisme tak bisa berumur panjang kecuali dengan rasialisme: suku, agama, ras, golongan, partai politik, organisasi, dan sebagainya. Karena menggaungkan rasialisme merupakan langkah menyemai fragmentasi sosial yang berpotensi konflik. Ketika konflik dimulai, ketergantungan terhadap kaum imperialis akan sangat besar. Mereka akan datang bak juru selamat yang menawarkan solusi, padahal jebakan kematian telah disiapkan.

Pada pidato 1 Juni 1945 di hadapan majelis BPUPKI, Bung Karno mengatakan bahwa indikator utama kemerdekaan adalah perasaan senasib, kehendak untuk bersatu, dan semangat untuk berjuang dalam ikatan kebangsaan. Dalam konteks gerakan kelas Marhaen, maka ketiga hal itu pun menjadi syarat mutlak.

Karena itu, kesadaran kelas diperlukan untuk meruntuhkan batasan-batasan sosial yang tercipta. Kaum Marhaen harus memahami betul bahwa ada desain besar yang dibangun untuk melanggengkan neo-imperialisme di era milenial. Sebagai kelas yang tertindas oleh sistem, maka Marhaen – petani, pekerja, aktivis, dan segenap elemen Marhaen – harus bersatu.

74 Tahun GPM: Meraih Cita-Cita Sosialisme Indonesia

Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) mendeklarasikan kebangkitan kembali pada tanggal 10 November 2018 di Semarang. Langkah ini merupakan kelanjutan perjalanan pergerakan GPM yang berdiri pada 31 Mei 1947, 2 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sejak tahun 1998, Ibu Rachmawati Soekarnoputri merupakan Ketua Umum caretaker DPP GPM, hingga Deklarasi Kebangkitan Kembali 2018.

Sebagaimana namanya, Gerakan Pemuda Marhaenis menjadikan Marhaenisme sebagai alas pijak paradigmatifnya.

GPM melihat Marhaenisme masih sangat kontekstual guna menghadapi permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini. Marhaenisme masih mampu menjadi solusi bagi rakyat Indonesia untuk menyeberangi jembatan emas kemerdekaan. Merdeka!

Muhammad Darwin, Sekretaris DPD GPM Kalbar