Oleh: Kadarisman
(Presidium Majelis Daerah KAHMI Tabalong)

Hitungan bulan ke depan pemilu digelar. Tepatnya Rabu, 14 Februari 2024 rakyat menyerahkan mandatnya kepada siapa Presiden RI mendatang, hingga siapa saja penghuni DPR, DPD dan DPRD.

Saat ini partai politik telah merampungkan pengajuan daftar bakal calon anggota legislatif ke penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), disusul kemudian pendaftaran calon presiden pada Oktober – November 2023 mendatang.

Karena begitu dekatnya, aura pemilu sudah terasa. Baliho, spanduk dan media pengenalan marak dijumpai di beberapa titik strategis.

Janji manis politik kembali mengemuka, mulai rajin blusukkan hingga rayuan iming-iming yang membuat pemilu menjadi ajang transaksional sempit.

Ujug-ujug banyak orang mendadak dermawan, peduli dan rajin silaturahmi. Anggota dewan yang selama 4 tahun 6 bulan lalu bagai hilang ditelan bumi, muncul kembali, bergerilya.

Mereka yang selama ini tak pernah bersuara soal rakyat ketika sidang soal rakyat masih percaya diri mengatakan layak dipilih lagi hanya bermodalkan beberapa bungkus bahan pokok dalih dalam reses.

Jadilah tiap pemilu sebagai ladang transaksional. Jadi awajar pasca pemilu nasib rakyat tak mengalami lompatan perbaikan. Lompatan perubahan justru terjadi pada harta penyelenggara pemerintahan yang disembunyikan dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Gambaran itu masih menjadi praktik buruk demokrasi di bangsa kita hingga saat ini. Pendidikan politik yang menjadi salah satu fungsi partai politik tak pernah memberikan hasil yang progresif. Tahu kenapa? Karena elit partai politik itu sendiri sangat permisif bahkan menjadi dalang sekaligus pelaku praktik buram pada agenda perebutan mandat rakyat tersebut.

Politik uang telah bermetamorfosa kebanyak bentuk dewasa ini, misalnya politik sembako bagi calon anggota legislatif, hingga pengarahan politik anggaran untuk tujuan elektabilitas calon kepala daerah.

Caleg pun sekarang memainkan retorika yang menyesatkan. Mengelabui praktik politik uang dengan menggunakan topeng spiritualitas. Politik sembako disebut sebagai menyantuni kaum marginal, politik uang yang diberikan dikatakan amanah. Konsekuensinya harus memilih sebagaimana pesan pelaku politik uang.

Retorika para caleg menjebak pemilih awam sungguh terlampau jauh hingga kepada mendistorsi nilai-nilai dalam spiritualitas. Ayat dan dalil dipermak sesuai kepentingan dan tujuan politik kekuasaan. Alhasil banyak pemilih awam merasa harus memilih karena tertitipi amanah uang atau sembako yang diterima.

Ketersesatan pemahaman ini mesti diluruskan agar rakyat sebagai pemilik mandat kekuasaan dalam negara demokrasi tidak menjadi korban retorika hitam. Setiap upaya penyimpangan yang berdampak pada terdegradasinya kualitas pemilu dan demokrasi adalah kejahatan pemilu, sekalipun dibungkus dengan jubah dan surban.

Amanah berasal dari bentuk mashdar, amina-amanatan, yang berarti jujur dan dapat dipercaya. Rasulullah SAW pernah mengatakan: “Majelis pertemuan itu harus dengan amanah kecuali pada tiga majelis: Di tempat pertumpahan darah yang dilarang, di tempat perzinahan, dan di tempat perampokan.”

Politik uang, politik sembako dan sejenisnya dengan maksud dan tujuan memengaruhi independensi pemilih karena ketidakberdayaannya secara ekonomi menjadi bagian yang boleh disamakan dengan “merampok” kemerdekaannya dalam menentukan pilihan politik.

Partai politik dan caleg yang sedemikian itu telah tidak jujur terhadap negara dan rakyat. Negara memberikan ruang dan kesempatan namun digunakan untuk melanggar hukum, etik dan moral sehingga caleg demikian patut dicap sebagai yang tidak layak untuk dipercaya. Bangsa dan negaranya saja dihianatinya, bagaimana mungkin rakyat beroleh amanah pada pribadi politisi sedemikian rupa.

Karena itu tidak ada amanah yang wajib ditunaikan jika amanah itu cacat moral, apalagi bertujuan untuk mengelabui keluguan konstituen demi didapatkan tiket kekuasaan yang diperalat untuk mengamankan regulasi para oligarki.

Jadi jangan heran kalau kebijakan di pemerintahan dan mitra koalisinya lembaga legislatif hanya memihak rakyat dengan setengah hati. Umumnya hampir satu dasawarsa ini regulasi lebih berhikmat kepada oligarki, kelompok orang – orang kaya yang menguasai tampuk kekuasaan eksekutif dan legislatif melalui pintu partai politik.

Amanah dititipi uang agar memilih calon tertentu betul – betul telah merusak banyak hal. Jika ada amanah yang wajib untuk tidak dilaksanakan, maka itulah amanah politis yang cacat moral.

Tertitipi amanah uang untuk tujuan politik yang telah diatur larangan dan konsekuensi hukumnya, amanah itu gugur dan wajib diabaikan karena berdampak keburukan dalam praktik bernegara dan berpemerintahan kedepan.

Beberapa waktu lalu dalam sebuah diskusi seseorang bertanya. “Kalau kita terlanjur menerima uang untuk dibagikan kepada pemilih, lalu harus bagaimana? Apakah disimpan saja uang itu?”

Jawab saya ketika itu: mencelakakan diri sendiri itu lebih ringan dampak buruknya daripada mengajak orang lain turut celaka. Maka sebab itu, jadilah diri yang menjadi bagian berkontribusi untuk mencerahkan demokrasi dan kebaikan bersama. Itulah pilihan tepat menyikapi amanah cacat moral !*