Oleh: Kadarisman, Ketua I Kerukunan Bubuhan Banjar Pimpinan Daerah Khusus (KBB-PDK) Kabupaten Tabalong)

Marsinah dan May Day atau hari buruh di Indonesia tak dapat dipisahkan. Wanita asal Nganjuk Jawa Timur tersebut telah menumpahkan darah dan nyawa untuk memperjuangkan buruh yang berkeadilan.

Marsinah dibunuh dengan sadis ketika memperjuangkan keadilan buruh. Pada hari Minggu, 9 Mei 1993, jasadnya ditemukan di dalam hutan jati Wilangan, Dusun Jegong, Desa Wilangan.

Tubuhnya sudah penuh dengan luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangannya lecet, tulang panggul hancur, dan di bagian vaginanya terdapat bercak darah.

Hasil otopsi menyatakan hasil lebih mengiris hati lagi, yakni luka pada pipi, siku, lengan, perut, luka robek di perut, tulang punggung depan hancur, memar di kandung kemih, pendarahan pada rongga perut, serta penembakan dengan senjata tajam di bagian alat vital.

Namun sayangnya hukum pada masa orde baru hanyalah simbol dari negara hukum yang tunduk dan berada di bawah hierarki kekuasaan eksekutif, sekalipun dikatakan menganut sistem Trias Politika.

Peringatan hari buruh tidak boleh melupakan sejarahnya. Memperjuangkan aspek kemanusiaan dalam semua lingkup kehidupan harusnya tidak semata perjuangan buruh, tetapi perjuangan oleh setiap insan manusia.

Kekerasan dan intimidasi dari berbagai pihak atas tiap perjuangan buruh tidak pernah akan hilang. Karena demikian itu adalah watak peninggalan pengalaman kelam yang coba diperbaiki dalam menangani dinamika perburuhan.

Kadang pengaruh kekuasaan orde baru masih tampak dalam pola pelibatan aparat keamanan dalam menahan pergerakkan perjuangan kaum buruh. Hal itu dapat dideteksi bagaimana aparat keamananan sebagai alat negara jangan sampai menjadi alat pihak tertentu yang keluar tadi tupoksinya.

UU Omnibuslaw ketenagakerjaan adalah wajah nyata pembegalan kuasa pembuatan undang – undang yang tidak memihak kepada bangsanya sendiri. Anggota Parlemen yang diberi mandat rakyat itu justru menyerahkan dirinya untuk disandera kekuatan lain.

Namun apapun, demikian itulah dinamikanya. Perjuangan buruh jangan pernah tenggelam untuk menyuarakan kebaikan dan keadilan yang bermuara pada penyanjungan kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Marsinah telah mewariskan semangat yang meng-abadi. Hari buruh yang diperingati di Indonesia ini telah dipalas oleh darah Marsinah.

Nyawa Marsinah boleh hilang tetapi kebaikan dan berkeadilan menjadi tujuan yang tak pernah hilang untuk diwujudkan dengan cara-cara yang ma’ruf dan menjunjung tinggi kebersamaan.

Wanita desa tersebut telah mengajarkan kepada Indonesia dan dunia bahwa kekerasan dan menafikan nilai nilai tertinggi kemanusiaan tidak akan membawa keuntungan bagi pihak manapun. Ketika Marsinah diabadikan sebagai pahlawan buruh, kini perusahaan Marsinah justru tenggelam dan lenyap di Sidoarjo.

Arah perjuangan buruh ke depan tetap melahirkan Marsinah – Marsinah dalam bentuk yang lain, mampu mewujudkan kepahlawanan baru namun juga harus mampu mewujudkan korporasi yang mengabadi, kuat, terdepan dan rahmatan lil’alamin.

Oleh karena itu diskursus proletariat harus disambut sebagai dinamika dan seni merumuskan MSDM yang harus menguntungkan pengusaha, tetapi juga harus menguntungkan para pekerja, harus menguntungkan bagi komunitas juga harus menguntungkan aspek lingkungan dan sosial kehidupan masyarakat.

Jika semua pihak mampu memahami tujuan besar dan paling akhir tersebut pasti akan terwujud iklim usaha dan kolaborasi yang sehat serta kuat, sehingga korporasi dan buruhnya sama-sama berumur panjang dalam atmosfir yang damai, adil dan makmur.

Pada akhirnya perburuhan dan dunia usaha di Bumi Saraba Kawa dan Banua Banjar secara umum akan membawa semangat dan budaya baru yang konstruktif dan kondusif.

Jika demikian, maka investasi bisa makin masif, tenaga kerja terabsorbsi makin banyak, ekonomi meningkat, orang miskin naik kelas dan makin hingkat, Banua aman, rakat terjaga dan babarakat, Tabalong makin terdepan dan bermartabat, masyarakatnya selamat dunia akhirat.*