Berita Gelap & Penyembunyian Hamidhan
Berita Proklamasi 17 Agustus di Borneo bagian Selatan (1)
Oleh : Mansyur, S.pd., M.Hum. (Dosen Sejarah ULM)
BERITA menyerahnya Jepang kepada Sekutu tanpa syarat hanya diketahui oleh mereka yang bekerja pada kantor berita Jepang “Domei”, sedangkan bagi rakyat umumnya tidak mudah mengetahuinya. Begitu pula tentang berita Proklamasi Kemerdekaan yang diucapkan di Jakarta tidak begitu saja dapat diterima oleh rakyat di wilayah Borneo Bagian Selatan.
Dalam baboon Sejarah Banjar (2003) sebelumnya telah diberangkatkan oleh penguasa Jepang ke Jakarta A.A. Hamidhan yang pada saat itu memegang jabatan sebagai pimpinan redaksi surat kabar “Borneo Simboen”.
Tujuannya, untuk menghadiri sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 18 dan 19 Agustus 1945 A.A. Hamidhan mengikuti sidang-sidang PPKI termasuk sidang yang membicarakan UUD 1945, tentang pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden dan juga tentang pengangkatan Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor.
Selain pengangkatan Gubernur Kalimantan juga ditetapkan pengangkatan Mr. Rusbandi sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah dan Dokter Sosodoro sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketika pulang kembali ke Banjarmasin A.A. Hamidhan sempat pula membawa surat kabar “Asia Raya” pimpinan B.M. Diah yang memuat berita Proklamasi dan teks Proklamasi 17 Agustus 1945.
Berita proklamasi tersebut disiarkan juga oleh surat kabar “Borneo Simboen” edisi Kandangan dan Banjarmasin. Sumbernya adalah dari kantor berita “Domei” Jakarta. Berita gembira itu disiarkan lagi pada Pasar malam di Kandangan antara tanggal 20-30 Agustus 1945, yang waktu itu diadakan oleh Jepang. Pada saat itu teks Proklamasi dan Pembukaan Undang-Undang Dasar dibacakan selengkapnya oleh Ahmad Basuni. Berita kemerdekaan yang diterima dan dijadikan sebagai sumber berita yang diterima beberapa tokoh pergerakan radio gelap, yang diterima secara sembunyi-sembunyi.
Kegiatan para pemuda dan tokoh pergerakan di Kandangan ternyata tidak banyak mendapat halangan. Bendera Merah Putih dikibarkan dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Bahkan untuk kenang-kenangan sebagai bukti telah menyalanya api kemerdekaan, Hamli Tjarang mendirikan sebuah tugu berbentuk “lilin menyala” di muka gedung kantor kepala Pemerintahan di kota Kandangan.
Tetapi kemudian tugu api kemerdekaan itu dihancurkan oleh tentara NICA ketika mereka berkuasa kembali di daerah ini. Sementara itu di Banjarmasin juga terdapat radio gelap milik Sunaryo dan Sahrul yang dapat juga mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Tetapi berita itu hanya dapat disebarluaskan secara sembunyi-sembunyi.
Terlambatnya berita proklamasi itu disebabkan oleh sikap pemerintah Jepang yang menghambat penyiarannya. Bahkan Minseibu Cokan melarang ketat terhadap tamu yang akan menemui A.A. Hamidhan yang baru kembali dari Jakarta menghadiri sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). A.A. Hamidhan sebenarnya sudah kembali ke Banjarmasin pada tanggal 20 Agustus 1945, tetapi karena sikap pemerintah Jepang tersebut, maka tugas-tugas yang dibebankan kepadanya tidak mungkin dapat dijalankan.
Penyebaran berita tentang proklamasi kemerdekaan baru diizinkan pemerintah Jepang pada tanggal 26 Agustus 1945 melalui surat kabar “Borneo Simboen” edisi Banjarmasin. Borneo Simboen yang terbit tanggal 26 Agustus 1945 atau 26 Hatji-Gatsoe 2605 terbitan hari Minggu yang secara lengkap menyiarkan teks proklamasi dan berita tentang proklamasi itu.
Tugas yang dibebankan kepada A.A. Hamidhan setelah kembali dari Jakarta adalah mendirikan Komite Nasional Indonesia Daerah Kalimantan (KNI) daerah, mendirikan Partai Nasional Indonesia, mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Semua tugas-tugas itu tidak mungkin dapat dilaksanakan karena sikap keras pemerintah Jepang. Bahkan A.A. Hamidhan kemudian disembunyikan pemerintah Jepang di kota Rantau, tempat kelahirannya, untuk menghindari tamu-tamu yang akan menyadap berita tentang Proklamasi.
Setelah pemberitaan dalam “Borneo Simboen” tanggal 26 Agustus 1945 A.A. Hamidhan harus meninggalkan Banjarmasin. Pada tanggal 7 September 1945, A.A. Hamidhan beserta keluarga, bersama-sama dengan Mr. Rusbandi dan Dokter Sosodoro diberangkatkan Jepang ke Jawa dan tidak kembali lagi. Hadhariyah M turut mengantar mereka ke pelabuhan.
Sementara itu di daerah Kalimantan Tenggara yang sekarang menjadi Kabupaten Kotabaru mempunyai jalur hubungan komunikasi yang lebih mudah ke pulau Jawa, Sulawesi dan Balikpapan dibandingkan dengan hubungan ke Banjarmasin. Hubungan Kotabaru dengan Banjarmasin, hanya mungkin dilalui dengan kapal laut saja, karena itu berita tentang proklamasi lebih cepat diperoleh dari pelaut-pelaut Jawa maupun Sulawesi dari pada berita datang dari Banjarmasin.
Pertengahan bulan Agustus 1945 tentara Jepang dan pasukan Boei Teisin Tai yang sebelumnya menjaga pertahanan di “Batu Kemudi” pedalaman Kalimantan, memasuki kota dan menempati sisa bangunan yang kena bom Sekutu. Kejadian ini disertai dengan desas desus, bahwa perang Pasifik telah selesai. Mereka mengumpulkan semua harta benda dan senjata, berkemas untuk meninggalkan kota.
Sementara itu penguasa Jepang mengumpulkan semua aparat pemerintah bangsa Indonesia di kantor pusat pemerintahan di tepi laut dan menjelaskan bahwa Jepang sekarang damai dan pemerintahan diserahkan pada bangsa Indonesia. Dalam kesempatan itu Sugei penguasa Jepang di Kotabaru menyerahkan kekuasaan kepada Gunco (Kiai/Districthoofd) Maskuni dan semua orang Jepang meninggalkan Kotabaru.
Pada pertengahan bulan September 1945 masuklah di pelabuhan Kotabaru tiga orang pemuda pelaut terdiri dari suku Bugis, Jawa dan Batak dengan menggunakan perahu layar dari Surabaya yang karena angin buruk, singgah di Kotabaru. Ketiga orang pemuda itu segera menghubungi pemuda bekas Boei Teisin Tai dan Kaigun Heiho yang diwakili oleh Peran Kamar, Mastari Misin, Ahmad Kawi dan Mursyid Saberani.
Selanjutnya diadakan pertemuan dengan ketiga pelaut yang mengaku pejuang yang bertugas secara rahasia dengan tujuan Sulawesi. Dari pertemuan tersebut diketahui dengan jelas tentang Proklamasi Kemerdekaan, susunan pemerintahan dan situasi terakhir di Jawa, khususnya di Surabaya.
Sebagai tindak lanjut dari pertemua itu, maka oleh tokoh masyarakat diadakan pertemuan yang lebih besar yang terdiri dari : Guru Alwi, Yusuf Janal, Golam Ahmad, Wahel dan dari kepengurusan pemuda antara lain Peran Kamar, untuk menentukan langkah selanjutnya sehubungan dengan situasi tersebut. (Bersambung…)