Bupati Mabar ‘Tidak Terpapar’ (Soal Dugaan Korupsi Penjualan Aset Negara)
Oleh : Sil Joni *)
Sejumlah media dalam jaringan (daring) yang berkarya di Manggarai Barat (Mabar) edisi 12 Oktober 2020 menurunkan berita seputar aktivitas penggeledahan pelbagai dokumen di ruang kerja Bupati Mabar, Agustinus Ch Dulla oleh pihak penyidik dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Propinsi NTT. Diberitakan bahwa selain 182 dokumen yang diperiksa, para penyidik juga ‘menyita’ Handphone (HP) pribadi dari bupati Mabar dua periode itu. Penggeledahan itu berkaitan dengan dugaan korupsi penjualan aset Pemerintah Daerah (Pemda) Mabar, berupa tanah seluas 30 hektar di Keranga (Torolema Batu Kalo?). Disinyalir bahwa kerugian negara dalam dugaan kasus ‘jual-beli’ aset itu senilai 3 Triliun.
Pemberitaan yang begitu massif dan agresif, tentu saja membuat ruang diskursus publik ‘heboh dan gaduh’. Pelbagai opini spekulatif dikonstruksi dan didiseminasikan secara kreatif dalam aneka platform media sosial. Konten pemberitaan itu cenderung menggiring ‘opini publik’ seolah-olah bupati Mabar ‘terlibat’ dalam kasus itu. Pristiwa penggeledahan dan penyitaan HP dijadikan basis argumentasi untuk menjustifikasi soal ‘keterlibatan’ orang nomor satu di Mabar itu.
Beruntung bahwa media Floresmerdeka.com, (13/10/2020) melansir pernyataan klarifikatif dari bupati terkait dengan ‘sinyalemen’ keterlibatan beliau dalam kasus itu. Secara jujur dan tulus sang bupati menyatakan bahwa ‘dirinya tidak berniat dan apalagi telah melakukan aksi menjual tanah Pemda itu’. Sebagai Kepala Daerah dirinya sedang berjuang keras untuk memastikan ‘lahan yang diserahkan oleh fungsionaris adat Nggorang, Haji Ishaka kepada Pemda Manggarai kala itu, menjadi salah satu aset Pemda Mabar.
Atas dasar itu, Gusti Dulla mengapresiasi dan berterima kasih kepada pihak Kejati NTT yang berupaya ‘membongkar’ lapisan skandal klaim kepemilikan atas lahan 30 hektar itu. Untuk diketahui bahwa sudah ada oknum yang mengklaim bahwa tanah itu sebagiannya bukan milik Pemda. Bahkan mereka berani ‘menjual’ sebagian lahan itu kepada para pemilik modal.
Jika isu penjualan itu benar, maka saya kira Bupati Mabar tidak bisa serta merta dikaitkan sebagai ‘aktor penjual aset’ negara. Yang menjual ‘aset’ itu adalah oknum tertentu yang mengaku sebagai ‘pemilik dari lahan itu’. Tentu klaim kepemilikan semacam itu mempunyai pendasaran sejarah dan legitimasi hukum yang kuat. Oleh sebab itu, pihak penegak mesti melacak dan menginvestigasi soal validitas kebenaran dari klaim sepihak semacam itu.
Saya berpikir ‘penggeledahan sejumlah dokumen di ruang kerja bupati dan penyitaan HP pribadi’, mesti dibaca sebagai upaya ‘mencari kejernihan’ soal status lahan itu yang sudah “diperebutkan” oleh banyak pihak itu. Jadi, penggeledahan itu sama sekali tidak bersinggungan soal dugaan keterlibatan bupati sebagai pihak yang menjual “aset negara”. Bagi saya, sulit sekali rasanya bupati Dulla melakukan aksi ‘senekat dan sekotor’ itu.
Dukungan Publik
Berhadapan dengan silang sengkarut klaim kepemilikan dan tindakan jual-beli aset negara, publik Mabar seharusnya mengadvokasi dan mendukung ‘niat politik’ Pemda Mabar untuk mengamankan aset itu. Mengapa? Lahan yang sudah diserahkan oleh fungsionaris adat Nggorang itu, bukan milik pribadi dari individu yang bernama Gusti Dulla, tetapi aset publik Mabar. Lahan itu tentu akan dipakai atau digunakan untuk melayani kepentingan warga Mabar, bukan sebagai ‘harta privat’ dari oknum yang tamak akan uang.
Semestinya publik mengambil inisiatif untuk ‘membela’ Pemda agar tidak mudah didikte oleh oknum-oknum mafia tanah yang sangat bernafsu mendapatkan tanah itu. Sangat tidak etis dan arif jika publik bersikap apatis dan apalagi berspekulasi negatif terhadap Pemda. Kita mesti mendorong dan memperkuat kapasitas Pemda agar secepatnya status kepemilikan lahan itu menjadi semakin jelas sebagai salah satu aset Pemda Mabar berdasarkan bukti historis dan dokumen-dokumen legal yang dikantongi Pemda saat ini.
Kita tidak ingin ada oknum yang menggunakan instrumen negara (pihak penegak) untuk menekan bupati Mabar dan menciptakan skenario bahwa seolah-olah bupati tak pernah ‘memperjuangkan status kepemilikan tanah itu’ dan menyetujui narasi yang dibangun oleh kelompok mafia tersebut. Dengan itu, posisi Pemda semakin lemah sehingga aset itu dengan mudah jatuh dalam ‘pelukan para spekulan tanah’ itu.
Kita arahkan energi untuk ‘mengawal’ proses hukum yang sedang ditangani oleh pihak Kejati ini. Berharap Bupati Dulla tetap tenang dan cerdas membaca permainan para pihak yang berkepentingan aset itu dan tidak mudah ‘terperangkap’ dalam jebakan para mafia tanah. Intinya, bupati Dulla mesti tetap setia pada ‘kata hatinya’ bahwa dirinya bukan bagian dari kelompok mafia tanah. Apa yang sedang diperjuangkan Bupati saat ini, itu semata-mata dalam rangka menyelamatkan aset negara dari incaran para mafia tanah.
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.