Penulis: Muhammad Dzunnurain

Menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi memang tidak mudah. Hanya sebagai Coodinator (CO) devisi atau biro saja, tanggung jawab yang diemban sangat besar, mulai memimpin, mengawas, membina, mengevaluasi dan mengendalikan, pengkajian, penyiapan, perumusan, penyusunan, dan lainnya.

Apalagi seorang ketua umum yang tanggung jawabnya lebih besar lagi. Namun, masalahnya, ada sebagian yang tidak menyadari betapa berat beban di pundak mereka. Alih-alih memimpin dengan bijak, banyak dari mereka justru menunjukkan ketidakbecusan yang sering kali membuat anggota organisasi geleng-geleng kepala sambil bertanya, “Emang lho, mau ngapain?”

Banyak dari kita pernah atau sedang terlibat dalam organisasi, baik di kampus, komunitas, atau perusahaan, dan tentu pernah merasakan betapa frustasinya ketika sang CO malah menjadi sumber masalah, bukan pemecah masalah. Contoh yang pernah saya liat dalam organisasi saya, kasusnya beragam, tapi semuanya punya satu benang merah: CO yang tak becus. Mulai dari tidak hadir di rapat penting, membuat keputusan yang merugikan, hingga sekadar malas melakukan tugas. Ini bukan lagi soal kurang kompeten, tapi sudah masuk tahap “males-malesan.”

Harusnya, seorang CO memegang peran vital dalam organisasi. Mereka yang seharusnya mengarahkan organisasi ke arah yang benar, menjaga agar semua berjalan sesuai rencana, dan tentunya, menginspirasi anggota lain untuk bekerja lebih baik. Namun, realitanya sering kali jauh dari harapan. Harapan kita terhadap seorang CO biasanya tinggi—kita berharap mereka bisa menjadi teladan, pemimpin yang mendengarkan, dan pengambil keputusan yang bijaksana. Tapi, kenyataannya, tak jarang kita mendapati CO yang sekadar numpang nama, atau lebih parah, membuat organisasi seperti kapal yang berlayar tanpa arah.

Ketidakbecusan ini berdampak besar pada kinerja dan moral anggota organisasi. Ketika seorang CO tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik, seluruh tim merasakan imbasnya. Bukan hanya soal pekerjaan yang jadi tidak efektif, tapi juga semangat anggota yang merosot. CO yang tidak hadir saat dibutuhkan, tidak mampu membuat keputusan tepat, atau tidak mau repot-repot memperhatikan detil pekerjaan, adalah CO yang memperburuk iklim organisasi. Anggota yang tadinya semangat bisa kehilangan motivasi, bahkan mulai meragukan arah organisasi itu sendiri. Dan yang lebih buruk lagi, ketidakmampuan ini sering kali menimbulkan konflik di antara anggota.

Di sinilah muncul reaksi umum dari anggota organisasi: sarkasme. Ketika frustrasi dan kekecewaan sudah tak bisa dibendung, humor menjadi pelarian. Maka muncullah komentar-komentar sarkastis semacam, “Oh, CO kita emang sibuk banget ya, sampai lupa ada rapat,” ujar si A atau, “Keputusan ini pasti dipikirin matang-matang deh, makanya hasilnya bikin organisasi tambah kacau.” tambanya si B. Humor dan sindiran seperti ini bukan sekadar lucu-lucuan, tapi tanda bahwa anggota merasa tidak dihargai dan mulai muak dengan situasi yang ada.

Lalu, bagaimana dengan Laporan Pertanggungjawabannya? Dalam sebuah organisasi ini adalah bukti konkret bagaimana seorang CO menjalankan tugasnya selama masa jabatannya untuk dipertanggung jawabkan. Tapi, dalam kondisi seperti ini, LPJ sering kali tidak lebih dari sekadar formalitas. LPJ bukan hanya soal angka-angka dan laporan di atas kertas, tetapi tentang bagaimana mereka akan dikenang oleh anggota organisasi, bahkan setelah masa jabatan mereka usai.

Maka dari itu, mari kita tidak hanya berhenti di kritik dan keluhan saja. Cari solusi yang bisa diambil untuk memperbaiki situasi ini. Pertama, CO perlu berbenah diri. Memperbaiki kinerja tidak akan terjadi dalam semalam, tapi dengan niat dan usaha yang sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin CO bisa memperbaiki cara mereka memimpin. Mereka perlu lebih hadir, baik secara fisik maupun mental, dalam setiap aspek organisasi. Tidak ada lagi alasan untuk absen di rapat penting atau menghindari tanggung jawab.

Selain itu, penting juga bagi organisasi untuk menerapkan evaluasi berkala. Evaluasi ini bukan hanya untuk mengkritik, tetapi sebagai alat untuk melihat sejauh mana seorang CO memenuhi ekspektasi anggotanya. Transparansi juga harus menjadi prioritas. Ketika anggota tahu apa yang sedang dilakukan oleh CO dan mengapa keputusan tertentu diambil, mereka akan merasa lebih terlibat dan dihargai.

Pada akhirnya, kita semua ingin organisasi kita berjalan lancar dan mencapai tujuannya. Kesimpulan yang santai tapi tegas bisa kita tarik dari sini: CO, saatnya kamu mulai berbenah! Jangan sampai LPJmu nanti hanya jadi bahan tertawaan, karena itu bukan sekadar formalitas, tapi cerminan dari seluruh masa kepemimpinanmu. Intinya, CO yang baik adalah mereka yang tidak hanya memimpin dengan otoritas, tetapi juga dengan tanggung jawab yang disertai kehadiran nyata, baik dalam keputusan maupun aksi.