Oleh : Sil Joni *)

MENULIS di kanal virtual itu memang sudah menjadi trend di era teknologi digital seperti sekarang ini. Kita dengan bebas menuangkan gagasan dalam pelbagai platform media sosial. Bahkan, tidak sedikit media publikasi di tanah air yang membuat terobosan inovatif dan transformatif dalam bidang digitalisasi media. Media dalam jaringan (daring) dan buku virtual (e-book) begitu menjamur saat ini.

Jika ruang virtual menjadi instrumen ideal pengaktualisasian potensi literasi, masih relevan dan urgenkah kita berbicara tentang eksistensi ‘buku kertas’? Apa nilai plus dari menulis dan membaca buku kertas jika dibandingkan dengan menulis dan membaca buku virtual? Bukankah membaca buku kertas dilihat sebagai aktivitas pemborosan waktu semata sebab semuanya telah tersedia di ruang virtual?

Untuk konteks Manggarai Barat, media sosial dalam pelbagai aplikasinya masih menjadi wahana pengembangan tradisi berliterasi. Kita lebih banyak menghabiskan waktu dan energi untuk terlibat dalam ‘pertengkaran sengit’ di facebook atau grup WhatApps (WAG). Aktivitas literasi kita masih sebatas membaca dan menulis di kanal facebook dan WAG.

Tidak ada yang salah dengan kegandrungan kita memanfaatkan ‘jasa media sosial’. Banyak penulis top lahir dari kebiasaan menghidupkan budaya literasi di forum media alternatif secara reguler. Kaum akademisi atau intelektual kenamaan dalam aneka bidang ilmu juga sudah menggunakan media sosial dalam menyebarkan hasil penelitian mereka.

Kendati demikian, menulis dan membaca di ruang facebook dan WAG saja tidak cukup. Akun media sosial relatif terbatas untuk menampung buah pemikiran yang komprehensif dan sistematis. Media sosial hanya menghadirkan bacaan yang bersifat sepotong dan sporadis saja.

Saya kira, buku kertas (real-book) masih menjadi ‘indikator mutu intelektualitas’ seseorang. Ribuan tulisan di facebook relatif ‘kurang berpengaruh’ dalam mendongkrak kualitas kecendikiawan, ketika orang tersebut belum menulis buku. Minimal, pelbagai tulisan tersebut disistematisasi dan dijahit dalam sebuah alur pemikiran runtut yang tertuang pada satu buku.

Sampai pada titik ini, saya merasa bahwa ‘aktivitas literasi’ yang saya geluti selama ini, belum memenuhi indikator sederhana di atas. Sampai detik ini, belum ada satu buku pun yang berhasil saya tulis. Saya hanya menulis ala kadarnya di level media sosial.

Karena itu, kita patut mengapresiasi pencapaian dari sejumlah guru Mabar yang sukses ‘membukukan’ sebagian tulisan mereka di grup diskusi facebook, Guru Mabar Menulislah (GMM). Dengan terbitnya ‘buku sulung’ itu, maka para guru tersebut sudah ‘naik kelas’. Mereka tidak lagi bertahan pada predikat penulis status facebook, tetapi telah beranjak ke posisi yang lebih prestisius dari sisi akademik-intelektual, penulis buku. Tak perlu dibantah bahwa ‘menghasilkan buku’ merupakan bukti otentik seseorang dikukuhkan sebagai ‘cendikiawan’.

Buku berjudul ‘Guru Mabar Berkreasi di Tengah Badai Pandemi Covid-19’ itu, diterbitkan oleh Penerbit Prennial Institute. Meski hanya berupa kumpulan tulisan lepas di grup facebook GMM, buku itu tetap dipandang sebagai ‘tonggak kebangkitan’ gerakan literasi dalam kalangan staf pengajar di Mabar ini. Mengenai kualitas buku, kita serahkan ke ‘pembedah/panelis’ untuk menilainya secara objektif. Tidak tanggung-tanggung, pakar filsafat pendidikan sekaligus dosen Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng, Dr. Mantovany Tapung, M. Pd, menjadi pemateri dalam acara bedah dan peluncuran buku itu pada tanggal 3 Oktober 2020.

Target berikutnya adalah para guru itu bisa ‘memproduksi buku’ secara mandiri. Tidak perlu terlalu muluk dan ideal. Cukup satu guru satu buku. Artinya, dalam edisi berikutnya, kita tidak hanya ‘mengunyah’ kumpulan tulisan bersama (antologi) dari para guru. Tetapi, kalau dapat masing-masing guru yang punya minat besar dalam dunia ‘tulis-menulis’ ini, berjuang untuk menghasilkan buku sendiri.

Saya membayangkan bahwa betapa semaraknya ‘dunia publikasi perbukuan di Mabar’ seandainya target di atas terealisasi. Jika ada 1000 guru yang tertarik untuk menaklukan tantangan itu, makan dalam setahun ada 1000 judul buku baru yang beredar. Dalam 10 tahun ke depan, jumlah itu terus bertambah. Ruang perpustakaan sekolah mungkin terlalu kecil untuk menampung jumlah buku sebanyak itu.

*) Penulis adalah staf pengajar SMK Stella Maris Labuan Bajo.