Oleh: Jamaluddin, S.Pd

Jika ada yang mengatakan: sejarah hanya pelajaran biasa. Saya tidak sependapat, kenapa? Karena dari sejarah suatu peradaban baru akan muncul.

Saya analogikan sejarah itu seperti kaca spion mobil. Supir tanpa spion bisa dipastikan kesulitan dalam manuver. Begitu juga manusia, tanpa sejarah tak akan mengenal arah kehidupan.

Belum lama ini muncul berita tentang penghancuran rumah Van Der Pij. Rumah yang menjadi saksi bisu perancang kota Banjarbaru itu dibongkar. Hanya menyisakan pintu dan jendela. Rumah itu dijual ahli waris sekitar tahun 2014-2015.

Pembeli pertamanya dealer mobil. Sering waktu, perpindah tanagan. Infonya rumah ini sekarang dimiliki pengusaha lokal. Rumah tersebut akan diubah menjadi ritel. Sangat disayangkan, generasi berikutnya tak bisa lagi melihat rumah bersejarah itu.

Tak kalah heboh, beberapa tahun terakhir muncul klaim kerajaan baru seperti Sunda Empier dan Keraton Agung Sejagad. Fenomena sosial yang tak bisa dibendung di era digital. Pelajarannya, betapa gampang orang menggunakan sejarah untuk pembenaran diri mereka.

Didukung sistem informasi yang canggih. Berita itu cepat tersebar. Jelas asumsi melenceng itu merupakan bukti betapa pemahaman sejarah mereka masih minim. Parahnya orang seperti ini masih dibiarkan wara-wiri di media televisi atau media siaran lainnya.

Saya teringat kata-kata Sumardiansyah Perdana Kusuma, Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia dalam sebuah catatan. Dia bilang “Menghancurkan sebuah bangsa tidak harus melalui pertempuran fisik. Hilangkan ingatan mereka akan sejarahnya, maka datangnya kehancuran tinggal menunggu waktu,”.

Cukup dua isu di atas menajdi pembelajaran. Kita perlu membentengi diri dengan pemahaman sejarah untuk memandang masa depan. Karena kehidupan manusia akan terus berlanjut dan sejarah akan terus mengiringi.

Ini menjadi alasan kuat, agar para guru mengokohkan pondasi ilmu sejarah di bangku sekolah. Tentu kita tak ingin siswa menganggap sejarah itu remeh. Karena peradaban manusia menentukan sejarah dikemudian hari. Sejarah itu yang akan dicatat, disebarluaskan dan diingat.

Soekarno selalu mengatakan “jas merah” (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) dalam sebuah pidatonya. Saya meng-aminkan, karena realitas yang kita hadapi sekarang tidak ujuk-ujuk tercipta. Tak ada asap kalau tidak ada api.

Oleh karena itu, hikmah akan selalu mengiringi perjalanan hidup. Tantangannya sekarang adalah, sejarah sebagai bagian kehidupan masa lalu tak bisa dirasakan sekarang. Karena itu, sarana untuk mentransformasikan narasi-narasi masa lalu yang paling efektif adalah melalui pembelajaran sejarah.

Di sini peran guru sejarah sangat penting. Harus bisa membangun jembatan antara masa lalu dan masa sekarang. Salah satu caranya harus berani membuka ruang-ruang baru dalam pikiran. Guru hanya memfasilitasi ragam pemikiran-pemikiran yang muncul dari siswa. Konsekuensinya pasti ada perdebatan.

Belajar sejarah bukan hanya sebatas penikmati masa lalu. Sebagai generasi muda harus bisa berpikir menciptakan bangunan mereka sendiri. Muara dari pembelajaran sejarah yang berorientasi pada keterampilan berpikir akan mendorong pembentukan manusia merdeka.

Siswa perlu menanamkan pada dirinya. Sejarah tak selalu bercerita tentang orang baik. Sejarah tidak selalau tentang pemenang, pembesar atau orang kaya. Setiap orang punya sejarah. Siapa pun bisa menuliskan sejarahnya.

Untuk itu, pelajaran sejarah tidak hanya mengacu kepada satu buku. Sekarang materi dibuku-buku tersebut sudah dengan mudah didapatkan dengan mengakses internet. Belajar sejarah juga bukan hanya yang tercatat dalam buku pelajaran.

Sejarah itu luas, maka memerlukan pola pikir yang terbuka. Terbuka menerima keragaman atau perdebatan. Maka dalam pembelajaran sejarah di sekolah paradigmanya harus diubah, setiap materi harus bisa dikaitkan dengan kehidupan sekarang.

Begitulah cara belajar sejarah yang bermakna. Jika siswa antusias mengikuti pembelajaran. Maka guru akan lebih mudah memfasilitasi proses belajar sejarah.