Front Persatuan Islam, Hak Sipil dan Ujian Bernegara
Oleh: Kadarisman
(Pemerhati Sosial Politik Banua)
Bernegara adalah manifestasi konsensus sebuah bangsa. Konsensus bangsa kita adalah Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Konsensus tersebut dikenal dengan 4 pilar kebangsaan.
Konsensus itu kemudian menjadi naungan hak sipil yang harus bebas dari ancaman distorsi bernegara yang didasarkan pada malpraktik kekuasaan. Negara harus dijalankan dengan berlandaskan hukum (rechtsstaat) bukan pada kekuasaan (machsstaat).
Kekuasaan yang tidak taat kaidah hukum rentan disalahgunakan untuk melawan hak-hak sipil. Pada akhirnya juga rentan melahirkan otoriterisme dan diktator konstitusional baru dalam negara.
Nama Front Pembela Islam atau FPI suka atau tidak, mau atau tidak harus kemudian dimaknai sebagai dinamika hak sipil di dalam mengisi “kekosongan” kontrol kekuasaan.
Koalisi besar kekuasaan di parlemen dapat membahayakan negara karena kehilangan keseimbangan politik dalam menentukan arus kebijakan eksekutif.
“Kenakalan” Front Pembela Islam dalam praktik amar ma’ruf nahi munkar yang bersinggungan dengan hak-hak hukum pihak lainnya harus dilakukan penindakan dalam perspektif aturan hukum.
Negara tidak boleh kalah dalam menegakkan hukum. Terbukti oknum Front Pembela Islam yang bersalah dapat dihukum berdasarkan putusan pengadilan. Negara harus memang berdiri di atas hukum untuk dan atas nama negara hukum yang menjadi dasar kekuasaan.
Tetapi kekuasaan negara tak boleh panik dan bertindak di luar hukum. Preferensi politik dalam dinamika demokrasi adalah keniscayaan. Hal tidak boleh kemudian menjadikan perbedaan politik sebagai musuh yang harus diberangus.
Marwah negara harus dijaga oleh bangsa ini agar jalan kekuasaan dapat mengambil tindakan berdasar hukum. Kesan pemerintah offside dalam menyikapi pelarangan Front Pembela Islam dapat dinilai dari kegagalan kekuasaan eksekutif menjaga marwah kekuasaan yudikatif. Mestinya pelarangan hak-hak sipil dalam berserikat dapat melalui pintu kekuasaan yudikatif.
Tapi memang persoalan kekuasaan negara tak berlepas dari kepentingan politik penyelenggara kekuasaan. Ketika pemerintah memaksakan kehendaknya melarang Front Pembela Islam, maka tidak serta merta menghilangkan hak-hak sipil warga negaranya. Lahirlah kemudian Front Persatuan Islam dengan singkatan FPI. Singkatan yang sama dengan From Pembela Islam.
Kelahiran Front Persatuan Islam tak dapat dihalangi oleh SKB 3 menteri. Karena kebebasan berserikat dan berorganisasi menjadi hak konstitusi yang tidak boleh dikangkangi oleh keputusan yang hirarki hukumnya jauh berada di level bawahnya.
Hal ini diakui dan dipertegas oleh Menkopolhukam Mahfud MD yang tidak akan melarang organisasi apapun yang lahir setelah pelarangan FPI
“Boleh. Mendirikan apa saja boleh, asal tidak melanggar hukum. Mendirikan Front Penegak Islam boleh, Front Perempuan Islam boleh, Forum Penjaga Ilmu juga boleh,” ujar Mahfud sebagaimana dikutif berbagai media.
Keterangan Mahfud MD soal ini menunjukkan bahwa Front Pembela Islam sama sekali tidak memiliki ideologi lain yang bertentangan dengan 4 konsensus negara. FPI tak pernah mengusik Pancasila, UUD, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
FPI hanya memiliki perbedaan politik dengan kekuasaan. Ini yang membedakan pelarangan FPI dengan HTI dan PKI. Jika PKI punya misi idiologi komunis, maka HTI punya misi ideologi khilafah. Tetapi FPI tetap berideologi pada 4 konsensus negara. Itu sebab pula kenapa pemerintah tak akan melarang Front Persatuan Islam (FPI) oleh orang-orang yang sama dengan Front Pembela Islam (FPI).
Kelahiran Front Persatuan Islam kemudian akan menjadi ujian baru entitas bangsa ini. Mampukah organisasi FPI baru ini bermetamorfosis lebih humanis sebagai organisasi yang berbasis agama bernafaskan rahmatan lil’alamin. Mampukah kemudian organisasi baru tersebut memposisikan diri dalam bingkai hukum ?
Mampukah kemudian pemerintah memposisikan kekuasaannya memandang FPI baru ini dalam konteks hak-hak sipil di dalam negara yang berdasar atas hukum bukan kekuasaan?
Mampukah pula rakyat Indonesia menyikapi keduanya itu sebagai fitrah demokrasi dan perbedaan preferensi politik yang biasa-biasa saja, tanpa harus menabuh kebencian, permusuhan dan disintegrasi insaniah, wathoniah dan Islamiah.
Ini ujian kedewasaan bersama dalam bernegara. Bagaimana pun negara tetap harus tegak berdiri dengan konsensus bangsa Indonesia dan kita hidup dalam konsensus itu.
Negara bersifat kekal. Kekuasaan bersifat sementara. Persaudaraan bersifat kekal, kepentingan politik itu sementara. Saatnya berfokus pada tujuan yang hakiki: membangun ukhuwah dan menjadi rahmatan lil’alamin. Menjadi penebar rahmat bagi seluruh alam agar energi bangsa dapat didorong menciptakan kemaslahatan rakyat Indonesia.
Tak penting siapa yang berkuasa, tetapi penting bagaimana kekuasaan dan organisasi apapun menjaga negara dan Fitra keragaman di dalamnya untuk membawa rakyat berkehidupan yang lebih layak.****