Oleh : Sil Joni *)

Pak Iren Surya selaku tim hukum dari pasangan calon (paslon Edi-Weng) sebelum bertolak ke Surabaya kemarin, Minggu (18/10/2020) sempat ‘berkomunikasi’ via telepon dengan saya. Kami sempat berbincang soal ‘isi putusan’ PT TUN yang diumumkan hari ini, Senin (19/10/2020).

Dari jalannya persidangan dan bobot argumentasi hukum dalam proses persidangan di PT TUN itu, Iren sangat optimis bahwa isi putusannya hanya dua, yaitu ‘ditolak dan tidak dapat diterima’. Dalam tulisan terdahulu saya sudah menjelaskan perbedaan dua frase hukum ‘ditolak dan tidak dapat diterima’ dari sisi implikasi hukumnya.

Dua istilah ini sangat berbeda jika ditinjau dari sisi implikasi hukum bagi para penggugat/pemohon. Jika gugatan itu ‘ditolak’, maka para pemohon masih bisa menggunakan hak hukumnya untuk mengajukan banding (kasasi) di tingkat Mahkamah Agung (MA). Sebaliknya, jika gugatan Paslon Misi ‘tidak dapat diterima’ oleh PT TUN maka ‘perkara itu’ dinyatakan selesai (berakhir). Artinya, para penggugat (pemohon) tidak bisa lagi menggunakan hak hukumnya untuk ajukan banding (kasasi) di MA. Mengapa? Boleh jadi gugatan itu tak memenuhi unsur untuk diperkarakan atau tidak memiliki basis legal standing yang kuat.

Hari ini, Senin (19/10/2020) kita sudah mendengar kabar bahwa gugatan Paslon Misi itu ‘ditolak’ oleh PT TUN Surabaya. Itu berarti pihak penggugat masih bisa menggunakan ‘hak hukummnya’ untuk memperjuangkan kebenaran hukum selanjutnya di tingkat MA. Tentu sangat menarik untuk ditunggu apakah paslon Misi belum ‘lempar handuk’ atau masih bergairah untuk mengajukan banding (kasasi) ke tingkat MA itu.

Publik sangat menantikan ‘episode puncak’ dari pertarungan ini. Kita berharap Paslon Misi tetap konsisten pada misi penegakan supremasi hukum seperti yang didengungkan selama ini. Kanal untuk memperjuangkan penegakkan kebenaran hukum itu, belum ditutup. Putusan PT TUN itu tidak bersifat final dan mengikat.

Saya tidak terlalu ‘risau’ dengan hasil akhir. Apresiasi saya kepada Paslon Misi terletak pada aspek pencerahan dan pendidikan hukum yang hendak diarak ke pentas Pilkada. Mereka tentu mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk mewujudkan misi luhur itu. Mereka tidak hanya berfokus pada upaya ‘merebut’ simpati voters, tetapi memastikan rambu-rambu hukum diterapkan secara benar dalam kontestasi ini. Jalur litigasi yang ditempuh selama ini bisa dilihat sebagai konkretisasi dari komitmen kesetiaan dan kecintaan pada kebenaran hukum itu.

Sampai sejauh ini, kubu penggugat belum ‘goyah’ dalam hal konsistensi dan militansi perjuangan. Kendati dalam tiga kali percobaan gugatan hukum, semuanya kandas mereka ‘tak mundur’. Bagi mereka keputusan KPUD, Bawaslu dan mungkin PT TUN bukan finalisasi dari kebenaran hukum yang diidealkan. Hal itu terbukti dari ‘keberanian dan kengototan mereka’ untuk menempuh jalur hukum yang lebih tinggi guna mendapatkan kebenaran hukum yang substansial itu.

Selain itu, kendati ada banyak pihak yang merespons secara sinis perjuangan tersebut, mereka tak gentar. Semakin dikritik dan dicerca oleh netizen, gairah mereka untuk mencari dan mendapatkan kebenaran hukum itu semakin tinggi. Saya kira, ini sebuah spirit dan pengorbanan yang patut diacungi jempol. Ketika banyak yang ‘apatis’ dengan isu ukum yang menimpa paslon, mereka justru mengibarkan suara kritis bahwa pencalonan dari paslon itu harus mendapat pengujian hukum yang ketat.

Karena itu, kita tunggu saja ‘respons lanjutan’ dari pihak penggugat ini. Semoga mereka tidak terlalu cepat mengangkat bendera putih (menyerah) untuk menempuh langkah hukum selanjutnya. Saya berpikir konsistensi itu mesti dipertahankan agar tidak menimbulkan ‘polemik’ soal motivasi dan intensi mereka dalam mengambil langkah hukum selama ini. Kita tidak ingin citra sebagai ‘pejuang kebenaran’ hukum redup hanya karena tak bersemangat lagi untuk ajukan banding di tingkat MA. Mereka mesti tunjukkan bahwa perjuangan mereka tidak sekadar menjegal langkah dari paslon tertentu, tetapi memperjuangkan substansi kebenaran hukum agar demokrasi kita semakin sehat dan produktif.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.