Oleh : Sil Joni *)

Para wakil publik (anggota DPRD) idealnya selalu ‘berada di Kantor’ untuk mendengar aspirasi dan memperbincangkan secara serius pelbagai isu politik krusial dan aktual yang terjadi di daerah pilihan masing-masing. Dengan itu, publik yang datang ‘membawa aspirasi’ ke kantor itu merasa bahwa mereka sedang berjumpa dan berdialog dengan para wakilnya.

Namun, dalam kenyataannya ada masa di mana para wakil itu ‘berkantor’ di kampung-kampung. Mereka ‘turun langsung’ ke Desa untuk menyerap dan merasakan secara nyata kondisi dan pelbagai problematika konkret yang dialami oleh publik-konstituennya. Intensitas dan frekuensi visitasi politik itu akan semakin tinggi ketika musim kontestasi politik seperti Pilkada digelar.

Semua anggota DPRD itu masuk dalam komposisi tim pemenangan dari Paslon yang diusung oleh partai dari anggota dewan terhormat itu. Mereka menjadi ‘pemain politik’ yang secara agresif memengaruhi opini dan persepsi publik untuk mendukung pasangan calon (paslon) favorit mereka.

Ada semacam ‘tanggung jawab moral-politik’ untuk menjalankan amanat partai yang telah memberikan dukungan politik kepada paslon tersebut. Akibatnya adalah mereka ‘rela’ tinggalkan kantor untuk bersama-sama paslon dan tim sukses lainnya bersafari dari satu titik ke titik yang lainnya di Mabar ini.

Karena itu, tidak terlalu mengejutkan jika ‘aksi demonstrasi’ dari sekelompok masyarakat kemarin, harus berhadapan dengan kondisi yang menyedihkan. Gedung DPRD itu sedang ditinggalkan oleh penghuninya. Para demonstran hanya disambut oleh beberapa orang saja yang kebetulan tak punya agenda untuk ‘turun ke akan rumput’.

Tidak ada yang salah dengan ‘sikap dan keputusan’ anggota DPRD itu untuk bertanding habis-habisan dalam kontestasi politik ini. Kendati demikian, kita coba menanggapi serius perihal posisi anggota DPRD dalam konstelasi politik Mabar secara keseluruhan. Saya berpikir ketika seseorang terpilih menjadi anggota DPRD maka statusnya sudah berubah. Individu itu tidak lagi ‘pekerja partai’, tetapi makluk politis yang seluruh energi dan perhatiannya tercurah pada pemenuhan kepentingan publik.

Sebuah konflik kepentingan (conflict of interest) tak terhindarkan ketika seorang anggota DPRD terlampau terfokus pada ‘imperasi politik’ dari petinggi partai. Mereka berada dalam posisi dilematis, antara memperjuangkan kepentingan publik atau kepentingan partisan dari partai politik. Dalam banyak kasus, umumnya anggota DPRD itu lebih memilih ‘loyal’ pada amanat partai ketimbang menjalankan perannya sebagai artikulator dan mediator pemenuhan kepentingan publik.

Saya kira, fenomen conflict of interest itu semakin menguat dalam musim kontestasi politik seperti sekarang ini. Anggota DPRD kerap tergoda untuk ‘meminggirkan’ tugas utamanya dalam ruang parlemen lokal dan lebih memilih untuk menjadi ‘pedagang politik’ dari paslon dukungan partai. Tugas-tugas politik formal dan legal ‘ditangguhkan’ untuk sementara. Mereka lebih ‘peduli’ pada amanat partai untuk memenangkan paslon. Terlampau berat risiko politiknya jika mereka ‘apatis’ atau tak terlibat dalam agenda pemenangan paslon tersebut.

Dari sisi prosedural-legal, apa yang diperlihatkan oleh anggota DPRD itu memang tampak ‘tak bermasalah’. Namun, dari sisi implikasi pelaksanaan fungsi dan peran politiknya secara substansial, sikap semacam itu, tidak tanpa konsekuensi serius. Hal yang paling ‘meresahkan’ adalah ruang parlemen tak lagi dijadikan ‘lokus’ untuk memasak ide-ide politik kreatif yang bersentuhan langsung dengan denyut kehidupan publik.

Untuk itu, dalam dan melalui forum ini, kita mengharapkan agar para legislator lokal itu ‘tak lupa untuk pulang ke barak politik’. Mereka dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan kepentingan publik par excellence. Masih ada banyak ‘suara warga’ yang mesti didengar dan direspons secara intensif oleh para wakil itu di dalam proses diskursus-dialektis yang berlangsung dalam ruang parlemen lokal itu. Mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi dari sekelompok demonstran merupakan salah satu ‘tugas politis’ yang sangat luhur sifatnya dan wajib dilaksanakan oleh para dewan terhormat itu.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.