Oleh: Jamaluddin, S.Pd

Setiap pukul 16.00 sore siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) pulang. Ada yang naik sepeda motor ada juga yang mengayuh sepeda. Kenapa mereka pulang terlalu sore?

Dulu saya SMA tahun 2013-2015 pulang pukul 14.00 Wita. Sampai di rumah aktivitas saya mencari rumput untuk makan kambing, kemudian pukul 16.00 Wita berangkat menuju lapangan sepak bola. Bermain mengembangkan hobi hingga senja tiba.

Aktivitas itu saya lakukan setiap pulang sekolah sampai lulus. Bagaimana dengan anak-anak SMA sekarang? Bisakah mereka memanfaatkan waktu untuk mengasah minat, bakat dan hobi?

Anak SMA berumur kisaran 15-17 tahun. Artinya mereka sudah bisa berpikir. Tapi, mereka “dipaksa” enjoy-enjoy saja menikmati sekolah dengan sistem full day.

Di belakang mereka menggerutu, mengkritisi sistem ini. Sebab dianggap melelahkan. Sebenarnya sistem full day ini diciptakan untuk siswa atau guru?

Jika siswa SMA itu pulang dua jam saja lebih awal. Dia punya waktu untuk melakukan aktivitas lain di rumah. Misal, membantu orang tua, atau mengembangkan bakat dan minat sesuai hobi. Apalagi sekolah yang berada di pedesaan.

Yang saya tahu dalam sistem full day school sekolah memberikan materi pelajaran lebih banyak kepada anak dengan harapan bisa menciptakan generasi emas.

Tapi kepribadian anak itu dipengaruhi oleh lingkungan. Sekolah harusnya bisa menjadi filter dalam mengasah keterampilan siswa dalam menentukan mana yang baik dan tidak di lingkungannya.

Artinya jumlah jam belajar untuk mengasah pengetahuan harus seimbang dengan keterampilan. Untuk itu pentingnya modifikasi kurikulum.

Di sini kurikulum berperan penting membuat iklim pembelajaran yang menyejukkan, menyenangkan dan ramah anak.

Faktanya tidak semua anak itu suka belajar teori. Di antara mereka ada yang suka pelajaran praktik.

Ada juga anak yang lebih suka pelajaran yang mengasah fisik. Kalau pun dia terlihat senang saat belajar teori saya rasa itu terpaksa karena mengikuti aturan sekolah.

Bapak pendidikan kita, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) pernah berkata. “Guru harus membekali keterampilan pada siswa sesuai zamannya agar mereka bisa hidup”.

Sudahkah kurikulum kita mengakomodir itu? Coba kita lihat lebih banyak mana pelajaran mengasah hobi, minat dan bakat dengan mengasah ilmu pengetahuan?

Di zaman sekarang, belajar bisa dimana saja. Pusat informasi sudah berada di genggaman kita melalui perkembangan teknologi.

Tapi kemampuan anak untuk memanfaatkan itu bagaimana? Keterampilan atau kompetensi apa yang kita asah jika pelajaran pengetahuan lebih dominan.

Bukankah sekolah itu taman yang menyenangkan untuk anak. Artinya setiap anak harus merasa senang dan bahagia ketika berangkat dan berada di sekolah.

Siswa itu perlu mengembangkan minat, bakat dan hobi. Sekolah wajib memfasilitasi itu. Desain kurikulum di sekolah perlu mengakomodir. Ada yang bilang, Lho kan sudah ada pelajaran olah raga?

Pelajaran olah raga itu hanya satu minggu sekali. Paling lama 3 x 45 menit. Cukup kah waktu itu untuk mengembangkan hobi, minat dan bakat siswa?

Coba bayangkan kurikulum kita seimbang antara pelajaran keterampilan dengan pengetahuan. Saya kira siswa akan lebih tertarik dan senang mengikuti setiap proses pembelajaran.

Bagaimana dengan program ekstrakurikuler? Saya menduga ini tidak maksimal dijalankan sebab minimnya waktu yang disediakan. Belum lagi para siswa punya kesibukan pribadi yang kita tidak boleh mencampurinya (selama itu masih baik).

Siswa sekarang mulai belajar pukul 07.30-16.00 Wita. Mereka diberikan materi berbagai macam pelajaran. Dengan guru yang berbeda-beda. Lalu ketika mereka tidak tertarik mengikuti satu pelajaran, guru merasa marah.

Memberikan hukuman dan sebagainya. Sistem pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara yakni “among”. Dimaknai guru itu menjaga, membina dan mendidik. Tanpa memberikan rasa malu kepada siswa yang bersalah itu.

Sekolah harus menjadi sarana atau tempat yang bisa mendewasakan para anak tanpa “sanksi”. Selain itu, sekolah harus menjadi tempat yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi siswa.

Kalau di sekolah banyak hukuman. Yang ada siswa tertekan. Yang ditakutkan jika siswa terpaksa mengikuti pembelajaran bertahun-tahun hanya demi mendapat ijazah.

Saya teringat apa yang disampaikan dosen saya di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Prof Ersis Warmansyah Abbas. Dalam penelitiannya mengenai profil KH Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul).

Intinya dia bilang, ketika Guru Sekumpul menyampaikan kepada para jemaah bahwa majelis akan libur, ribuan bahkan jutaan jemaah merasa sedih. Tapi ketika seorang guru menyampaikan kepada murid bahwa pelajaran sekolah diliburkan respons mereka sangat gembira.

Ada kesenjangan dari dua hal di atas. Apakah ada yang salah dengan sistem pelajaran dan pendidikan kita? Mestinya siswa juga bisa merasa sedih ketika sekolah itu diliburkan. Tapi faktanya mereka bergembira. Jangan-jangan guru juga demikian.

Maka jangan kecewa jika di antara siswa ada yang memilih bolos. Bahkan siswa tidak masuk sekolah dan memilih bekerja, atau membantu orang tua. Misalkan bantu mengatam (memanen padi- dalam bahasa Banjar) Salah satu faktornya karena kurikulum kita membosankan.

Seandainya siswa pulang dua jam lebih awal, sekolah bisa mendesain satu kegiatan yang dilakukan bersama antara guru dan siswa. Misalkan, kompetisi lomba antar kelas bersama guru. Kemudian dievaluasi tiap bulannya atau per-semester.

Betul siswa punya waktu libur Sabtu dan Minggu. Tapi jadwal panen padi itu tidak mesti di hari itu. Seandainya siswa bisa belajar di pagi hari, kemudian siang mereka bisa membantu orang tua, bukankah lebih bijak.