Oleh:
Sawal, S.Pd, S.AP, M.Pd
Direktur Utama Independent Public Watch (IPW)

Impas covid-19, kami menamainya masalah kembar. Upaya penanganan pandemi oleh pemerintah dan respon publik terhadap hal tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa transformasi pandemi Covid-19 menjadi krisis sosial, pangan, ekonomi, pendidikan bahkan keamanan dan kemasyarakatan.

Banyak istilah dipakai untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, lock down, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pokoknya berbagai macam istilah lahir mengikutinya. Harapan pembatasan covid demikian terjadi juga pada pilkada 2020 kenyataanya tidak.

270 daerah di Indonesia termasuk 4 kabupaten di Maluku tetap melakukan pentahapan dan melangsungkan pemungutan suara pada Rabu, 9 Desember 2020. Sementara di dearah lain yang belum menyelenggarakan Pilkada bila diamati mengalami “Pancaroba Politik” contohnya kabupaten Maluku Tengah.

Pentahapan Pilkada salah satunya kampanye, masa kampanye pilkada dijadwalkan (26 September-5 Desember 2020). Kampanye pemilu merupakan salah satu tahap sebelum pemungutan suara serta mempunyai sasaran utama yang tepat.

Cara pandang kita, program esensial dalam mendukung pesta pemilihan umum (pemilu), kampanye merupakan cara untuk memperkenalkan diri serta memaparkan sebuah visi dan misi tentang kebijakan pembangunan daerah selama lima tahun berlangsung.

Pilkada, ada politik, demokrasi, dan ada rakyat, relasi membangun kuasa atau pemerintahan, alur proses seleksi kepempinan nasional dan lokal diselenggarakan dengan mekanisme pemilu dan pilkada.

Namun bagaimana dengan akurasi isi kampanye pilkada yang muluk-muluk untuk merebut simpati dan suara rakyat. Di lain sisi sebutan jurkam dalam pertarungan pilkada lemah dalam memilih kosa kata politik yang mendidik. Seberapa akurat niat membangun yang dikemas dalam visi misi kandidat?

Mari kita bicara pilgub Maluku 2018 melalui 2 fakta, fakta hasil dan fakta empiris. Pertama fakta hasil, pilgub 2018 Murad Ismail di atas angin, terpilih sebagai pemenang. Program dan janji kampanye pemindahan ibu kota privinsi Maluku ke Makariki yang sampai sekarang nol persen, belum juga janji lainnya.

Tidak ada ruang bagi rakyat memberikan sangsi dengan cara hukum konvensional, satu-satunya jalan daya ingat rakyat sebagai pemilik kedaulatan harus berkelahi pada posisi dialektik argumentatif untuk memberikan “sangsi amanah” yang tidak mampuh menunaikan janji kampanye, ujungnya daya jual kandidat jauh menyusut dihati rakyat. Juga efek jas kandidat pilkada di 4 kabupaten di Maluku ikut terseret.

Rakyat harus cerdas membelok haluan dari pragmatisme “door prize pilkada”, baju kaus, sembako, dan sedikit uang serangan fajar. Taburan janji yang muluk-muluk telah kehilangan magnet, karena memang terbukti, pragmatisme rakyat tidak akan melemahkan daya kritikal pada saat mencoblos nanti.

Kedua, fakta empiris di beberapa negara lain pun hal ini juga terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Susan C. Stokes (2001), seorang guru besar Ilmu Politik Universitas Chicago terhadap 44 kasus pemilihan presiden di 15 negara Amerika Latin selama kurun waktu 1982-1995 menunjukkan adanya kecenderungan pengingkaran yang cukup tinggi atas janji-janji kampanye. Ada gejala bahwa para politisi memang berusaha mengambil hati para pemilih ketika berkampanye, tetapi segera setelah mereka terpilih mereka menentukan kebijakan semau mereka tanpa mempedulikan preferensi para pemilihnya.

Kedua fakta memberikan informasi terpilih dan dipilih “sama-sama amnesia” (penyakit lupa) mestinya ini tidak demikian. Apakah ini produk pilgub-pilkada dalam wajah demokrasi? Tentu bukan, sebab ide Demokrasi mengalami penafsiran yang banyak sekali dalam bentuknya. Dalam literature pernah terungkap ada lebih dari tiga ratus (300) varian demokrasi. Sehingga demokrasi Indonesia masi terus berjalan.

Mana kita pakai? mau demokrasi Barat sulit karena kita di Timur, demokrasi sederhana juga tidak mulus 100 persen, apalagi Dictator, (baca Filsafat Demokrasi) jalan satu-satunya demokrasi dikontekskan pada fakta ketimuran “Demokrasi Timur” (Stenleage) dibawah dalam fakta sosial pertarungan politik-demokrasi menguatnya pemilih konservatif, pemilih yang masi menjaga tradisi.

Kiranya Sebuah demokrasi yang kuat yang sehat di awali dari rakyat lokal untuk Indonesia yang melintasi arus perdaban janji kampanye. Kegagalan kita membangun sistem politik yang sehat hampir 70 tahun menjadi sebab utama mengapa bangsa dan daerah ini masih tertatih-tatih sambil mengerang ditengah pergaulan global yang semakin kompetitif dan agresif.

Tuan rumah di negeri sendiri. Itu persoalan yang masih patut dipertanyakan saat ini, dan mungkin di tahun akan datang. Apakah benar daerah ini akan maju dan berkembang dari hasil buaian kampanye pilkada yang akan berlangsung di 4 kabupaten di Maluku?