Kebaikan Jadi Jalan Penderitaan
Oleh: Kadarisman
Ketua Lembaga Hikmah & Kajian Publik PDM Tabalong
Mentari pagi itu basimban gumpalan awan putih. Itu sebab cahaya pun tidak terik. Tapi tak juga sejuk. Tak menyamai sesejuk udara di puncak gunung sarampakang yang ada di wilayah Utara Kabupaten Tabalong ini.
Pagi itu tepat jika disebut sangat hangat. Namun demikian tak akan pernah menyamai hangatnya pelukan sang kekasih di tiap malam-malam berlalu dan yang akan datang di sepanjang musim “kodok bahintaluan.”
Sambil menyusuri jalan ke tempat kerja saya keluarkan handphone versi zadul yang setia. Beberapa tanda WhatsApp (WA) berjejal minta dibuka.
Satu dari banyak wa yang masuk adalah seorang yang berkisah hidup yang menderita. Penderitaan itu muncul sebab kebaikan. Menjadi baik boleh jadi menjadi jalan berjumpa dengan penderitaan.
“Beberapa hari ini kondisi saya tak nyaman. Sebab orang yang selama ini saya baik kepadanya, tega jahat kepada saya. Hati ini tak bisa terima. Apakah kondisi fisik saya ada hubungan dengan kejadian saya?”
Kebaikan atau investasi kebaikan seseorang pada orang lainnya sejatinya adalah jalan pembentuk bahagia bagi diri itu sendiri. Kebaikan itu kebutuhan alamiah manusia. Fitrah manusia adalah kebaikan. Maka berbuat baik adalah konsumsi fitrah batiniah manusia.
Kebaikan mesti dimaknai sebagai tujuan agar orang lain merasakan manfaat sebaik-baiknya, bukan sebaliknya, dibuat merasa terhutang kebaikan diambil lagi manfaatnya.
Anggapan jika kita sudah baik pada orang lain, maka orang pun akan membalas baik kepada kita, itu namanya pedagang kebaikan. Di sini kemudian orang rentan terluka.
Berbuat baik sedikit lalu beroleh kebaikan yang banyak kemudian itu namanya transaksional. Hitung dagang namanya. Berharap suatu saat berbuat baik pada orang lain, itu menghianati nilai kebaikan.
Jika seseorang berbuat baik, maka berbuat baiklah. Persembahan kebaikan tidak memperdulikan dirinya beroleh balasan baik atau buruk.
Seseorang baik pada orang lainnya bisa saja dibalas kejahatan, dilupakan, atau diabaikan. Pada akhirnya kebaikan demikian itu hanya membawa kepada jalan kekecewaan dan berkelimpahan penderitaan.
Kebaikan itu mestinya membahagiakan, menyehatkan dan memperbaiki kesemestaan. Tiap pribadi yang berbuat baik maka kebaikan itu sendiri adalah upahnya. Imbalan kebaikan tidak tergantung pada balasan baik orang lain, tetapi bertambahnya tingkat kesadaran akan kesejatian dirinya adalah upah dari Tuhan yang tak dapat disandingkan dengan apapun pemberian dan apresiasi makhluk.
Orang baik mau melakukan kebaikan karena akan menumbuhkan dirinya. Dirinya sadar kebaiakannya bukan karena baiknya dirinya, tetapi karena Tuhan telah memilihnya dititipi kebaikan. Maka yang baik adalah Tuhannya, bukan dirinya.
Pribadi yang demikian tidak berani berharap balasan kepada siapapun atas kebaikannya. Karena berbuat baik semata-mata karunia Tuhan atasnya.
Karunia Tuhan itu adalah lebih dari segalanya. Jika Tuhan tak titipkan dan ilhamkan kebaikan kepada hati, manalah seseorang tergerak berlaku baik.
Sebab itu tak usah mengklaim kebaikan Tuhan yang tertitipkan itu sebagai kebaikanmu, lalu kemudian diri itu seolah berhak atas balasan baik dari orang lainnya.
Jika landasan kebaikan dikembalikan kepada kesejatiannya maka tidak ada orang yang kecewa karena sudah baik, tidak ada sakit hati karena sudah dermawan, tidak ada menyesal telah menjadi manfaat buat orang. Maka yang ada hanyalah kebahagiaan dan keberuntungan semata-mata karena dipilih Tuhan untuk dititipi kebaikan.
Sebagai yang terpilih dari Tuhan itu sungguh menakjubkan. Jauh lebih amazing dari pada minta dipilih oleh rakyat agar menjadi presiden atau legislator.
Pilihan rakyat itu bisa keliru, tapi pilihan Tuhan pasti benar. Rakyat bisa dirayu dengan selembar duit, ditipu dengan wajah penuh citra, tapi Tuhan tidak. Orang baik dimuliakan Tuhan, tapi orang minta dipilih dan memilih karena duit akan Tuhan sempitkan pikiran dan hatinya.
Jadi, orang yang membalas buruk dan jahat atas kebaikan kita, boleh jadi itu salah kita. Mungkin kita merasa baik dan merasa pantas, merasa paling menentukan nasib orang, paling berjasa dan lainnya.
Pada akhirnya setiap orang punya tanggung jawab untuk menjadikan hidupnya sebagai “life of contribution”.
Berbuat baiklah kepada semesta dan makhluk Tuhan lainnya dengan tidak menjadikannya sebagai pamrih kepada makhluk, maka kebaikan menutup jalan – jalan yang menuju penderitaan, membukakan kepada jalan kemuliaan dan kebahagiaan.
Agar kebaikan tidak menjadi jalan penderitaan, ingatlah rumus 2L&2I berikut ini:
Lupakan kebaikan kita pada orang
Lupakan keburukan orang pada kita
Ingat kebaikan orang pada kita
Ingat keburukkan kita pada orang
Wallahu’alam bisawab.*