Oleh: Kadarisman
Praktisi & Coach Spiritual Emotional Healing

Hidup adalah tempat di mana keindahan juga hidup. Tak ada hidup sesuatu yang indah tanpa karunia dan kebesaran Tuhan. Dunia menjadi tempat karunia Tuhan. Karunia Nya tidak terbilang. Nikmatnya tak bisa dihitung.

Kalaulah hendak dihitung, niscaya tak terhitung. Begitu melimpahnya nikmat Tuhan. Masih adakah alasan jika hidup dan kehidupan adalah tempat derita dan ladang penderitaan.

Hidup mesti dijalani dengan syukur, agar senang hati hadir. Tapi hidup tidak untuk bersenang-senang. Hidup juga tidak untuk menderita. Hidup karena titah Tuhan taat pada Nya agar bahagia dan menjadi manfaat buat semesta alam.

Menjadi manfaat buat semesta tidak memilah milah. Tidak boleh aspek kemaha rahmatan Tuhan dipersempit oleh manusia. Lalu dia hanya menjadi baik buat dirinya sendiri, atau kelompoknya sendiri atau yang hanya seiman dengannya saja.

Tuhan yang buat kehidupan manusia agar menjadi indah dengan saling mengenal di antara perbedaan yang ada. Jika Tuhan hendak jadikan manusia menjadi umat yang satu sangat mudah bagi Nya. Tetapi Tuhan jadikan berbeda-beda agar kita menemukan pesan cinta Nya.

Jika hidup ini disi keindahan, maka kebencian menjadi kehilangan ladang. Kebencian bukan tak boleh ada. Dia boleh ada sebagai energi untuk menolak kebathilan demi kepentingan yang memaslahatkan. Benci bukan emosi yang digunakan serampangan demi menyelematkan egoisme sempit diri itu sendiri.

Hidup ini indah karena bersifat kesementaraan dan adanya perbedaan. Tidak selamanya. Tapi ada pula yang merasa sebaliknya. Hidup ini adalah siksa getir, tempat pertentangan dan pertikaian dinamika yang sangat tinggi. Jikapun iya, beruntunglah karena itu pun hanya kesementaraan. Tidak abadi. Penderitaan akan sampai pada garis finishnya sendiri.

Kesementaraan membuat kegetiran terjadi tidak akan kekal. Selama-lama menderita maka tidak selamanya. Kesementaraan ladang kesempatan melalui hidup dengan karunia Tuhan yang menyediakan keindahan kebaikan.

Makanan yang paling enak yang kita paling sukai itu karena kesementaraan.

Seenak-enaknya, akan tumbuh rasa dulak untuk menyudahi. Dia menjadi nikmat karena tidak mengabadi. Dunia ini sajian kenikmatan karena bersifat fana. Kenikmatan yang mengabadi tempatnya bukan dunia. Bukan di tempat yang bersifat kesementaraan.

Jika hidup belum indah, jangan-jangan kita terlampau menganggapnya sebagai keabadian. Hasrat memiliki dan terlampau erat menggenggam dunia. Seolah kita tidak ingin melepas untuk selamanya. Padahal fitrah manusia pasti ingin melepasnya.

Keindahan dan penderitaan menjadi bagian penting buat hidup itu sendiri. Hidup kita tidak dirancang untuk terhindar dari menderita. Justru rasa menderita menjadi penegas bahwa bahagia itu ada.

Seperti rasa manis itu ada dan hadir karena kita mengerti ada rasa pahit. Rasa manis itu tidak ada jika hidup tak pernah mengerti apa itu pahit. Rasa pahit itu menjadi penting untuk menghadirkan rasa manis itu ada.

Demikian kegetiran menjadi penting agar keindahan dan kebahagiaan menjadi dapat dirasakan. Tak ada getir yang kekal. Seperti tak ada manis yang abadi. Penderitaan dan kebahagiaan adalah rasa yang berkontribusi lahirnya hidup ini berasa indah. Tetapi keindahan tetaplah kesementaraan.

Kesementaraan pasti akan merindukan keabadian. Dia pasti akan melalui fase akhir dari apa yang tidak kekal.

Ayah saya mengajarkan itu pada kehidupan saya. Kesementaraan itu membuatnya menjumpai akhir perjalanan “kekhalfihannya” di dunia.

“Saya mau pulang, mau kembali. Rawat saya di rumah saja, Ndak usah dibawa ke rumah sakit lagi. Karena saya tidak akan lama. Saya sedang menunggu waktu yang tepat.”

Sebulan kemudian ayahnda pun berpulang Jumar 31 Desember 2021. Dia melepas kesementaraan yang dijalaninya dengan indah. Menuju tempat kerinduan yang menjadi fitrah manusia untuk dilepasnya kesementaraan. Alfatihah