Kritik Wacana Publisher Game Berbadan Hukum Dari Kominfo
Pada Januari silam, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, menyatakan bahwa publisher game yang beroperasi di Tanah Air harus berbadan hukum di Indonesia.
Alasan yang dipaparkan beliau adalah untuk menggantikan Peraturan Menteri Kominfo No 11 tahun 2016 tentang Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik, sekaligus sebagai upaya pemerintah untuk membangun ekonomi digital nasional.
Bila dalam jangka waktu tertentu suatu publisher game belum mematuhi peraturan baru tersebut, game mereka akan diblokir dari Indonesia.
Sontak pernyataan tersebut menimbulkan perbincangan yang hangat serta mendapatkan banyak respons negatif dari para developer game. Dikarenakan hal ini dapat merugikan industri game di Indonesia yang notabene masih berkembang di kancah nasional.
Salah satu akibat utama yang dapat terjadi bila peraturan ini diterapkan yakni terbatasnya pemasaran game di Indonesia. Industri game Indonesia sangat bergantung terhadap akses global.
Kebanyakan developer game di Indonesia masih mengandalkan publisher asing untuk memasarkan game mereka. Ini dikarena angka konsumen game berbayar di luar negeri jauh lebih besar daripada di dalam negeri.
Mayoritas penduduk Indonesia hanya mengenal game-game Android dari Play Store. Di samping harganya yang gratis, rata-rata dari mereka juga cukup santai untuk dimainkan.
Bila kalian bertanya kepada orang awam mengenai game pun, pasti yang ada di benak mereka pertama kali adalah Mobile Legends, Free Fire, PUBG, dan lainnya.
Game-game tersebut memang sah-sah saja untuk dibuat. Hanya saja, kebanyakan dari mereka dibuat hanya untuk memenuhi kebutuhan bisnis saja dan tidak terlalu mementingkan kebutuhan berekspresi melalui karya seni.
Sebagian developer game di Indonesia membuat game dengan tujuan mengekspresikan ide mereka, contohnya seperti A Space For The Unbound, game yang berhasil meraih nominasi ajang penghargaan game dunia.
Developer game tersebut, Mojiken Studio, bertujuan untuk membawa pemain ke dalam masa lalu mereka, yakni era 90-an, dan mengekspresikan betapa pentingnya menjaga kesehatan mental serta perhatian yang tulus dari seseorang dapat memberikan dampak yang cukup berarti bagi pengidap mental illness.
Masih banyak lagi game-game yang dibuat dengan tujuan yang kurang lebih sama, dan mereka dipasang harga karena mereka hanya dimainkan dalam sekali duduk. Tidak bersifat on-going seperti game-game Android pada umumnya.
Di samping itu, para developer game berbayar di Indonesia juga menargetkan pasar di luar negeri, dimana pasar untuk game berbayar jauh lebih besar darivpada di dalam negeri.
Memang tak bisa disalahkan bila pemerintah ingin meningkatkan ekonomi digital dalam negeri, mengingat bahwa peminat game Indonesia mulai dapat pengakuan secara global dan berdasarkan survei dari katadata.co.id, Indonesia pada tahun lalu menjadi kontributor game terbanyak se-Asia Tenggara.
Oleh karena itu, kebijakan baru dari Kominfo ini bersifat anti-kompetitif dan memberikan dampak yang buruk bagi konsumen maupun produsen game serta berpotensi meningkatkan maraknya pembajakan game di Indonesia.
Oleh: Muhammad Abdul Hafidh Madani