Oleh : Husen Bafaddal (Alumni Unidar)

Secara umum, makna demokrasi adalah kontrol masyarakat terhadap urusan publik atas dasar kesetaraan politik. Sehingga dalam kaca mata demokrasi semua masyarakat mempunyai hak yang sama tanpa ada pengecualian dalam kepentingan politik seperti yang dimaksud.

Dalam dinamika demokrasi Indonesia, ada semacam ketidakberesan kalau dengan pendekatan logika dalam memandang demokrasi itu sebagai sebuah sistem bernegara. Bahwa demokrasi hanya dikuasai oleh kelompok yang punya status quo, sedangkan cara berpikir dan berpendapat masyarakat biasa yang tidak punya status sosial diabaikan begitu saja. Masyarakat biasa hanya lapisan terluar dalam lingkaran kehidupan demokrasi di Indonesia.

Bukan “kekuatan argumen yang lebih baik” seperti Habermas menyebutnya yang diperhitungkan didalam demokrasi Indonesia saat ini, melainkan jumlah uang yang lebih banyak maka dibalik retorika demokrasi bercokol politik uang yang dijalankan oleh para predator bisnis-politis. Ketika berhadapan dengan kepentingan politik segala bentuk argumen yang mengalir tidak lagi diperhitungkan.

Padahal, politik dalam negara demokrasi itu transaksi akal sehat, tukar pikir gagasan. Fitrahnya demokrasi itu kebebasan. Kebebasan dalam menyampaikan gagasan dan pikiran-pikiran. Jadi, berpolitik itu kita berpikir.

Budi Hardiman (2013) dalam bukunya “Dalam Moncong Oligarki, Skandal Demokrasi di Indonesia” menjelaskan jika demokrasi di mengerti sebagai pemerintahan oleh demos, dapat dikatakan bahwa Indonesia sampai saat ini tidak sedang menuju ke sana, melainkan menuju ke se-bentuk demokrasi dengan isi kekuasaan-kekuasaan oligarkis yang tak terkendali hukum.

Bahkan lebih parahnya, kekuasaan oligarki ini menggunakan kekuatan mereka untuk mengendalikan hukum. Padahal, seperti yang kita ketahui bahwa substansi dari hukum adalah tentang keadilan dan tidak berpihak, apalagi hanya menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain. Di Indonesia kenyataannya terbalik yakni yakni menguntungkan pihak yang satu (oligarki) dan merugikan pihak yang lain (rakyat).

Misalkan, kita lihat saja dalam perkembangan selanjutnya pada peristiwa demonstrasi besar-besaran yang pernah dilakukan oleh mahasiswa se-Indonesia di tahun 2019 dan 2020 akibat produk hukum yakni UU kita yang sangat kontroversial, (1) UU KPK yang dilihat sangat mempersempit ruang gerak KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi; (2) RUU KUHP, dan (3) UU Omnibus Law, yang dilihat banyak merugikan rakyat dan justru melindungi para korporat serta memberi keluasan bagi para investor asing masuk ke dalam negeri. Kita bisa lihat secara jelas pada RUU KUHP Pasal 278 yang bunyinya: “Membiarkan unggas ternak berkeliaran di kebun/lahan tanaman orang lain bisa dipidana hingga Rp 10 Juta”. Pertanyaannya adalah, kenapa unggas yang masuk ke lahan orang didenda, tapi para korporat yang mengambil dan mengekploitasi SDA kita tidak di hukum?

Menurut para filsuf Perancis kontemporer, ini “kita tidak hidup dalam demokrasi-demokrasi”, melainkan “kita hidup dalam negara-negara dengan hukum oligarkis”, karena pemerintahan tidak pernah dilakukan oleh rakyat, melainkan “selalu dilaksanakan oleh minoritas atas suatu mayoritas”.

Kambing Hitam

Sungguh buruk nasib rakyat dalam fakta demokrasi di Indonesia, rakyat lebih sering dijadikan sebagai objek demokrasi dari pada subjek demokrasi. Hasanul Banna (2017) dalam tulisannya bahwa demokrasi pun dirasa terkunci sebatas prosedural tanpa diperankan secara substansial. Demokrasi yang (harusnya) memberikan kebebasan bagi rakyat tampak hanya sebuah slogan.

Dalam momentum demokrasi prosedural (pemilu) contohnya, bahwa pemilu itu se-bentuk acara seremonial yang cenderung dilaksanakan secara formalitas. Tetapi dibalik itu, segala bentuk keputusan sudah atau hasil dari pemilu telah didapatkan. Haris Samsuddin (2017) katakan, dalam demokrasi oligarki, rakyat (voters) tidak memilih apa yang mereka kehendaki.

Mereka telah dipilihkan oleh segelintir elite kekuasaan yang memegang peran dominatif di dalam institusi demokrasi.

Artinya, dalam pemilu yang selalu diselenggarakan dengan dalih itu adalah pesta rakyat, karena pada saat itu rakyat diberikan kebebasan dalam menentukan pilihan politiknya. Padahal, kita (rakyat) hanya dikambing hitamkan untuk mensukseskan jalannya pemilu pada beberapa dekade belakangan pasca reformasi. Reza Syawawi (2019) katakan, inilah buruknya demokrasi: suara mayoritas adalah penentu meskipun tidak bermutu.

Mengembalikan Marwah Demokrasi

Mengembalikan marwah demokrasi merupakan upaya menaruh dan menata ulang demokrasi ke arah yang sebenar-benarnya sebagai tujuan untuk mencari sesuatu yang namanya “keadilan” itu. Pasalnya, keadilan itu adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Rakyat tidak boleh hanya diberikan tempat pada demokrasi yang sifatnya prosedural saja, lalu setelah itu diabaikan (habis manis sepah dibuang). Tetapi dalam demokrasi subtantif, rakyat harus punya tempat paling awal, di tengah-tengah dan paling akhir dalam kepentingan-kepentingan berbangsa dan bernegara.

Bukankah Abraham Lincoln mendefenisikan demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Democracy is from the people, by the people and for the people). Konsep demokrasi yang sudah lama hadir harusnya membawa perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam alam demokrasi, ada beberapa yang menjadi tujuan utamanya yakni justice, peace and welfare. Hal tersebut dapat dijadikan indikator bagi sebuah negara demokrasi dikatakan berhasil atau gagal. Sebab, esensi dari suksesnya demokrasi adalah rakyat dapat merasakan keadilan (justice), perdamaian (peace), dan kesejahteraan (welfare).

Arah Baru

Kalaupun kita harus jujur mengatakan, bahwa demokrasi di Indonesia pasca-reformasi tak jauh berbeda dengan demokrasi Orde Baru, hanya saja kemasannya saja berbeda. Sekarang sudah bebas dalam bersuara. Media massa mampu menyuarakan jeritan hati rakyat. Namun substansinya masih jauh dari harapan.

Dalam buku “Merancang Arah Baru Demokrasi” yang merupakan kumpulan tulisan dari para aktivis dan akademisi dalam memandang Indonesia setelah reformasi dilangsungkan pada 21 Mei 1998. Sampai saat ini, Indonesia belum mencapai cita-cita yang diinginkan oleh reformasi. Rakyat masih mengalami berbagai diskriminasi, penindasan, serta minimnya akses terhadap pendidikan, ekonomi, dan media massa.

Menurut Dankwart Rustow (Priyono & Hamid, 2014) menjelaskan banyak jalan menuju demokrasi. Demokrasi bukanlah keadaan statis, tapi harus lebih dilihat sebagai proses-untuk-menjadi, dan arena itu bersifat dinamis.

Demokrasi harus menemukan maknanya secara utuh, sehingga demokrasi merupakan solusi terhadap segala bentuk permasalahan negara bangsa. Maksimal berbagai diskriminasi, penindasan, serta minimnya akses terhadap pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lain sebagainya, tidak lagi dialami oleh rakyat.

Tujuan akhir dari demokrasi itu hanya untuk rakyat, rakyat, dan rakyat. Sekali lagi, dalam hakikatnya demokrasi harus terwujudnya keadilan sosial, perdamaian politik-hukum, dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia.