Marcus Aurelius, seorang filsuf Romawi dari abad ke-2 Masehi, dikenal dengan karya terkenalnya, Meditations. Buku ini adalah refleksi pribadinya tentang kehidupan, etika, dan filosofi. Dalam tulisan tersebut, Marcus banyak membahas pentingnya pemikiran individual yang kritis dan berani menentang kebijaksanaan kolektif.

Salah satu pandangannya yang terkenal adalah bahwa tujuan hidup bukan untuk mengikuti mayoritas, tetapi untuk menjauh dari “kelompok orang gila”. Ini sangat relevan di dunia modern kita yang penuh dengan tekanan sosial dan dorongan untuk berkonformitas.

Dalam konteks sosial, mayoritas merujuk pada kelompok terbesar dalam masyarakat yang pandangan dan perilakunya sering menjadi standar atau norma umum. Mayoritas memiliki pengaruh besar dalam membentuk kebijakan, budaya, dan nilai-nilai sosial karena kekuatan jumlahnya.

Namun, menurut Marcus Aurelius, “kelompok orang gila” adalah mereka yang terjebak dalam perilaku tidak rasional dan tidak bijaksana. Kelompok ini terdiri dari individu-individu yang tidak hanya membuat keputusan buruk, tetapi juga dengan sadar mengabaikan logika dan kebijaksanaan demi keuntungan pribadi atau kelompok sempit.

Perbedaan utama antara mengikuti mayoritas dan terjebak dalam perilaku tidak rasional adalah kemampuan untuk berpikir kritis dan bijaksana. Mengikuti mayoritas tanpa berpikir kritis dapat membuat seseorang terperosok dalam tindakan yang tidak bijaksana.

Sebaliknya, kelompok orang gila secara aktif menolak kebijaksanaan dan logika, sering kali demi kepentingan jangka pendek atau agenda kelompok tertentu.

Lantas, mengapa mengikuti mayoritas tidak selalu benar? Konformitas sosial sering kali mendorong seseorang untuk mengikuti perilaku, sikap, dan nilai-nilai mayoritas tanpa mempertimbangkan apakah tindakan tersebut bijaksana atau tidak. Keinginan untuk diterima dan diakui oleh kelompok sering kali membuat kita kehilangan identitas pribadi dan kebebasan berpikir.

Ada banyak contoh di mana kelompok mayoritas ternyata salah. Pada era Nazi Jerman, mayoritas masyarakat mendukung atau setidaknya tidak menentang kebijakan genosida dan perang agresif yang dilakukan oleh rezim Hitler.

Demikian pula dengan Revolusi Kebudayaan di Tiongkok, di mana mayoritas masyarakat terlibat dalam penghancuran budaya dan intelektual di bawah tekanan sosial dan politik yang kuat.

Tekanan sosial semacam ini bisa merusak kebebasan berpikir dan kebijaksanaan individu. Ketika mayoritas mendukung perilaku yang tidak etis atau tidak rasional, individu sering merasa terpaksa ikut serta demi menghindari ostrasisme atau hukuman sosial.

Untuk menghindari jebakan ini, kita harus mampu menganalisis, mengevaluasi, dan membentuk argumen berdasarkan logika dan bukti yang ada. Hanya dengan cara ini, kita bisa mempertanyakan asumsi yang diterima secara umum dan membuat keputusan yang bijaksana.

Pendidikan memainkan peran penting dalam membentuk individu yang bijaksana dan mampu berpikir kritis. Kebebasan berpikir adalah hak fundamental yang harus dipertahankan di tengah tekanan mayoritas. Tanpa kebebasan berpikir, kita tidak bisa mengembangkan pemikiran yang kritis dan kebijaksanaan yang diperlukan untuk menentang perilaku mayoritas yang tidak bijaksana.

Beberapa tokoh sejarah yang berhasil menolak perilaku mayoritas antara lain Socrates dengan metode bertanyanya yang menantang asumsi dan keyakinan yang dipegang oleh mayoritas masyarakat Athena. Galileo Galilei juga menentang pandangan mayoritas mengenai tata surya dengan teori heliosentrisnya.

Meskipun menghadapi perlawanan dan hukuman dari Gereja Katolik, Galileo tetap teguh pada kebenaran ilmiah yang diyakininya. Begitu pula Nelson Mandela yang berjuang melawan apartheid di Afrika Selatan meskipun mayoritas masyarakat kulit putih mendukung sistem tersebut. Dengan keberaniannya menentang ketidakadilan dan ketidakbijaksanaan dari mayoritas yang berkuasa, Mandela berhasil membawa perubahan besar dan mengakhiri apartheid, menciptakan negara yang lebih adil.

Menjaga integritas pribadi berarti menghindari kelompok orang gila atau perilaku yang tidak rasional. Kelompok-kelompok ini biasanya ditandai oleh dogma, intoleransi terhadap perbedaan pendapat, dan ketidakmampuan untuk menerima kritik.

Mereka sering mempromosikan kepentingan sempit dengan mengorbankan kebijaksanaan dan logika. Meskipun prinsip-prinsip ini benar, menghadapinya sering kali terasa berat karena tekanan untuk berkompromi sangat kuat.

Ada beberapa cara praktis untuk menghindari pengaruh negatif dari kelompok yang tidak rasional. Pertama, kembangkan keterampilan berpikir kritis. Kedua, evaluasi informasi dari berbagai sumber. Ketiga, cari nasihat dari individu yang bijaksana. Dan terakhir, jaga jarak dari kelompok yang menunjukkan perilaku tidak rasional.

Menghindari konformitas yang tidak kritis dan menjauhi kelompok yang tidak bijaksana adalah langkah penting untuk mencapai tujuan hidup yang bermakna.

Mari kita renungkan tujuan hidup kita masing-masing dan pertimbangkan apakah kita terlalu dipengaruhi oleh mayoritas atau kelompok yang tidak bijaksana. Refleksi ini penting untuk memastikan bahwa keputusan yang kita ambil adalah hasil dari pemikiran kritis dan kebijaksanaan, bukan sekadar karena tekanan sosial.

Penulis: Muhammad Dzunnurain, Student Faculty of Teacher Training and Education, English Education Department Unisma.