Penulis : Sil Joni (Pemerhati Masalah Sosial dan Politik). 

Frase ‘perbuatan tercela’ mendadak populer pasca-pendaftaran pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati Manggarai Barat (Mabar), 4-6 Sepetember yang lalu. Pelbagai kanal diskursus publik dalam jagat virtual, disesaki dengan perbincangan seputar ungkapan itu dan menghubungkannya dengan ‘nasib politik’ salah satu paslon. Tanggapan dan pengaduan publik terhadap ‘pencalonan’ kandidat yang pernah terlibat dalam perbuatan tercela itu, begitu menguat saat ini.

Publik menggunakan secara optimal ruang dan momentum yang dibuka oleh KPUD untuk menanggapi sekaligus mengadu perihal paslon yang ‘dinilai’ bermasalah secara hukum. Kasus hukum yang masuk kategori perbuatan tercela menurut definisi Undang-undang Pilkada dan peraturan KPU, menjadi obyek pembicaraan yang seru dalam ruang publik. Kebetulan, salah satu dari kandidat yang sudah ‘terdaftar’ di KPUD Mabar itu, pernah tersandung kasus pidana perjudian pada tahun 2016. Judi adalah salah satu jenis perbuatan tercela itu.

Sebetulnya, penyampaian opini dan masukan dari publik perihal ‘pemenuhan aspek persyaratan teknis dan etis’ dari para paslon itu, sah-sah saja dan bahkan boleh dinilai sebagai sebuah keharusan. Setidaknya, publik diberi ruang untuk ‘memberikan semacam penilaian dan pertimbangan’ terhadap pencalonan paslon yang kalau dapat, bisa dijadikan salah satu alasan bagi KPUD dalam meneksekusi sebuah keputusan.

Namun, publik tidak bisa ‘mengintervensi’ otoritas pihak penyelenggara dengan mengobsolutisasi interpretasi hukumnya untuk dijadikan acuan final. Masalahnya adalah penafsiran publik terhadap sebuah aturan, tidak pernah netral dari interes politik.

Jika intensi utamanya adalah memberikan masukan dan catatan kritis kepada KPUD, maka sebaiknya disalurkan secara elegan dan tidak perlu ‘berteriak liar’ di ruang virtual. Pernyataan yang cenderung ‘memutlakkan’ penafsiran hukum subyektif, tentu berpotensi ‘menciptakan kegaduhan’ sebab muncul kesan kita sedang ‘menekan pihak KPUD’.

Masukan dan catatan itu, sejatinya ditujukan ke KPUD, bukan digelindingkan secara brutal di ruang publik. Apa motif di balik ‘penyebaran’ tanggapan itu di tengah masyarakat? Apakah masyarakat khususnya warga-net mempunyai otoritas untuk ‘membalikan’ keputusan KPUD? Apakah kelompok yang ‘rajin mengumbar pernyataan di media’ itu ingin meminta partisipasi publik dalam menyuarakan hal yang sama ke KPUD?

Saya berpikir, sejauh hak politik seseorang belum dicabut oleh pihak penegak, maka kita mesti menghormati ‘hak dasar’ orang untuk ikut mencalonkan diri dalam kontestasi ini. Benar bahwa ‘publik berhak’ untuk mengawal setiap tahapan pilkada termasuk memastikan lembaga KPUD bekerja secara independen dan profesional. Tetapi, tidak dengan itu, kita ‘berhak memvonis’ seorang kandidat untuk ‘didiskualifikasi’ dari pencalonan hanya karena perbedaan tafsir terhadap bunyi pasal dalam undang-undang dan peraturan teknis lainnya.

Tugas publik adalah mendorong dan mengawal KPUD untuk menegakkan aturan secara cermat. Dorongan dan catatan kritis itu mesti dikemas secara elegan dan disalurkan melalui mekanisme yang resmi. Apa untungnya kita ‘memproduksi pernyataan sesnsional’ di media? Bukankah tanggapan itu sudah diberikan ke KPUD? Lalu, untuk apa lagi kita menyebarkan ‘pernyataan-pernyataan’ yang bersifat provokatif?.

Pengaduan itu sudah diterima dan sedang dianalisis oleh KPUD. Semestinya, kita menunggu seperti apa hasil analisis KPUD terhadap pelbagai tanggapan, opini, keberatan, dan pengaduan yang sudah disodorkan ke pihak penyelenggara itu.

Kuat dugaan, ada pihak yang secara sengaja ‘melemparkan isu perbuatan tercela’ itu untuk mendereputasi dan membunuh karakter paslon tertentu. Artinya, isu perbuatan tercela dijadikan ‘peluru hantaman’ untuk meruntuhkan citra dan elektabilitas lawan politik. Isu itu sengaja direproduksi secara massif dan didiseminasi secara agresif untuk menjatuhkan ‘pamor’ lawan politik. Apalagi, menurut gosip sebagian dari kelompok yang ‘berteriak’ di media itu adalah anggota tim pemenangan dari paslon tertentu.

Jika dugaan ini benar, maka bisa diprediksi bahwa sebenarnya perjuangan dari kelompok ini sarat dengan interes politik parsial. Ada semacam politisasi isu perbuatan tercela demi mendapatkan efek elektoralitas. Jika motivasi dan intensinya untuk ‘menjaga marwah Pilkada’, hemat saya kelompok kritis itu memsti ‘menyodorkan dan membentangkan’ secara utuh kajian hukum berbasis saintifik mereka dalam ruang publik.

Artinya, mereka tidak hanya pandai ‘membuat pernyataan provokatif’, tetapi memberikan hasil kajian yang komprehensif yang bernilai edukatif. Mungkin dengan membaca kajian akademik yang elaboratif itu, publik tercerahkan dan semakin mengerti pendasaran rasional di balik sikap politik mereka itu.

Karena itu, kita patut ‘mencela’ terhadap setiap upaya politisasi pengeksploitasian isu perbuatan tercela yang menimpa seorang kandidat. Mempolitisasi isu perbuatan tercela, saya kira lebih ‘tercela’ dari sekadar perbuatan tercela versi undang-undang (UU) pilkada itu.

Tidak ada yang bantah bahwa kasus yang menimpa salah satu figur calon bupati Mabar pada tahun 2016 itu, merupakan perbuatan tercela dalam perspektif UU. Namun, apakah beliau boleh atau tidak untuk mengikuti tahapan selanjutnya dari kontestasi Pilkada ini, tentu masih diperdebatkan. Pihak penyelenggara yang lebih paham dan otoritatif untuk menentukan keputusan yang adil.

Publik memang ‘diberi ruang untuk berpendapat’, tetapi tidak boleh memaksa seoalah-olah pendapatnyalah yang paling benar dan legitimatif. Absolutisasi opini seperti yang terbaca dari fragmen pernyataan dari pihak tertentu di jagat virtual hari-hari ini, tentu bersifat kontraproduktif dalam menciptkan iklim yang kondusif dalam mengarungi musim kontestasi Pilkada 2020 ini. ***