Menelisik Penyebab Pengangguran Terdidik
Oleh : Muhammad Bahrul Latif
Statistisi Pertama BPS Provinsi Kalimantan Selatan
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 9 Mei lalu menyebutkan bahwa pada Februari 2022, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 5,83 persen. Dengan kata lain, terdapat lima sampai enam orang pengangguran dari 100 orang angkatan kerja di Indonesia. Fakta yang lebih mengejutkan adalah hampir dua per tiga dari pengangguran tersebut adalah pengangguran terdidik.
Apa Itu Pengangguran?
PENGANGGURAN selalu menjadi isu yang sulit dipecahkan dalam proses pembangunan. Tak hanya di negara-negara yang sedang berkembang, permasalahan ini juga tak jarang ditemui di negara-negara maju. Pengangguran telah menjadi layaknya ‘penyakit’ yang berdampak pada berbagai aspek sosial ekonomi suatu wilayah, antara lain kemiskinan, ketimpangan, hingga stabilitas politik dan keamanan.
Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami tentang apa itu pengangguran dan kapan seseorang bisa disebut sebagai pengangguran. Menurut BPS, pengangguran merupakan kelompok penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak bekerja dengan empat kondisi. Keempat kondisi tersebut yaitu (1) sedang mencari pekerjaan, (2) sedang mempersiapkan usaha, (3) tidak mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha, karena alasan merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan (4) sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
Pengangguran Terdidik Membludak
Dalam tujuh tahun terakhir, pengangguran di Indonesia didominasi oleh pengangguran terdidik. Seseorang yang menganggur bisa dikategorikan sebagai pengangguran terdidik apabila usianya mencapai 15 tahun ke atas dan tingkat pendidikannya Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat ke atas.
Selanjutnya, jika dilihat dari tingkat pendidikan, pengangguran tertinggi di Indonesia adalah lulusan SMK dengan TPT sebesar 10,38 persen. Selanjutnya, lulusan SMA menempati urutan tingkat pengangguran tertinggi kedua yaitu 8,35 persen, kemudian lulusan Diploma I/II/II I dan DIV/S1/S2/S3 berturut-turut sebesar 6,09 persen dan 6,17 persen pengangguran terbuka.
Berbeda dengan pengangguran tamatan SMA ke atas, pengangguran dengan tamatan SMP hanya sebesar 5,61 persen. Bahkan, pengangguran dengan pendidikan SD kebawah hanya sebesar 3,09 persen. Hal tersebut bisa saja terjadi disebabkan lulusan pendidikan yang lebih rendah cenderung menerima apapun pekerjaan. Sedangkan, mereka yang pendidikannya lebih tinggi memilih untuk menunda bekerja sampai mendapatkan pekerjaan yang dianggap ‘layak’ sesuai dengan pendidikan yang telah ditamatkan.
Angka TPT ini masih meninggalkan masalah fundamental tersendiri, yakni lulusan SMA ke atas yang masih mendominasi angka pengangguran. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius oleh pemerintah karena terus berulang dari tahun ke tahun.
Mengapa “Mereka” Menganggur?
Pada umumnya, persoalan pengangguran terdidik sangat erat kaitannya dengan masalah pendidikan di negera berkembang. Permasalahan pendidikan yang terjadi antara lain berkaitan dengan keterbatasan fasilitas, kurangnya sumber dana, mutu pendidikan, dan ketidaksesuaian antara hasil sekolah dengan kebutuhan masyarakat.
Permasalahan yang sudah ada tersebut semakin diperburuk dengan membludaknya tenaga kerja terdidik tanpa diimbangi dengan ketersediaan pasar kerja yang dapat menampung mereka. Selain itu, efek pandemi yang masih belum sepenuhnya pulih juga menjadi ‘mimpi buruk’ bagi tenaga kerja terdidik.
Paradigma dan kebiasaan yang berkembang di masyarakat untuk memilih bidang pendidikan yang umum dan populer dengan mengabaikan minat terhadap jurusan tersebut turut menambah rentetan panjang penyebab menganggurnya tenaga kerja terdidiik. Bagi mereka, yang paling penting adalah jurusan populer yang ‘dianggap’ mudah untuk mendapatkan pekerjaan setelahnya. Padahal, justru bidang jurusan tersebut tidak mampu menampung seluruh lulusannya.
Lalu, Apa Solusinya?
Dalam mengatasi persoalan pengangguran terdidik ini, diperlukan kolaborasi dari pemerintah, perguruan tinggi, dan seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan kualitas dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan berkualitas dapat diwujudkan dengan baik dari sisi tenaga pengajar, sarana fasilitas, kurikulum dan proses pembelajaran apakah sudah sesuai standar yang diharapkan atau belum. Berawal dari terpenuhinya standar yang diingikan, nantinya diharapkan seseorang yang terdidik dapat menjadi lulusan yang berkualitas sehingga dapat terserap dalam dunia kerja atau bahkan dapat menjadi pencipta kerja (job creator) dibandingkan menjadi sekedar pencari kerja (job-seeker).
Selain itu, perguruan tinggi juga harus menyiapkan pola pembelajaran baru yang dapat membantu mengembangkan life skill mahasiswa agar ketika menjadi lulusan sarjana mampu memiliki keterampilan yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja. Hal ini diharapkan dapat menguatkan link and match perguruan tinggi dan dunia kerja.
Dari sisi individu masing-masing, selain dengan mengasah keterampilan yang mumpuni agar dapat memenuhi kebutuhan pasar kerja, setiap individu juga perlu merubah paradigma sedari awal tentang tujuan melanjutkan pendidikan. Melanjutkan pendidikan sebaiknya didasari dengan tujuan untuk mengasah keterampilan dan meningkatkan kualitas diri bukan hanya sekadar untuk mendapatkan ijazah dan popularitas belaka.
Dengan adanya peningkatan kualitas pendidikan, perubahan pola pembelajaran dan perubahan paradigma individu diharapkan pengangguran terdidik dapat teratasi mengingat pengangguran terdidik masih menjadi persoalan yang berat di bidang ketenagakerjaan Indonesia.