Oleh : Sil Joni *)

Kita tidak perlu ‘mengucapkan ulang’ ikrar para Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, 92 tahun yang lalu. Kendati sumpah itu dibacakan atau diucapkan beribu kali, jika tidak dihayati dalam kehidupan nyata, tentu tak ada faedahnya. Tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Peringatan itu hendaknya tidak sampai pada tataran seremonial dan momental belaka.

Teks ke-Indonesia-an direkonstrusi secara heroik oleh para pemuda yang menghadiri Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 itu. Peristiwa itu memiliki makna yang mendalam bagi sejarah bangsa ini, sebab imajinasi tentang ke-Indonesia-an menemukan sosoknya yang ideal. Peringatan Sumpah Pemuda tahun 2020 ini terasa begitu istimewa bagi kita di Mabar ini.

Mengapa? Perayaan itu hadir pada saat energi kita lebih banyak tergerus untuk meningkatkan tensi rivalitas dalam memperebutkan kursi kekuasaan politik. Drama politik elektoral itu kadang berpotensi ‘menggoyahkan’ kohesi sosial dan rasa persatuan sebagai warga Mabar. Kita terpolarisasi dalam kubu-kubu politik dan berjuang untuk ‘mengalahkan’ rival politik. Aroma kebencian, dendam, amarah, dan caci-maki kadang menghiasi pola relasi kita dalam kontestasi Pilkada ini.

Untuk itu, peringatan Hari Sumpah Pemuda itu mesti menghadirkan spirit perubahan pola pikir dan pola tindak dalam hidup kita. Perbedaan pilihan politik itu tidak harus membuat kita ‘terpecah-pecah’. Spirit kebersamaan dan persatuan sebagai warga Mabar tetap dijaga dengan baik.

 

Sejarah Sumpah Pemuda

Mungkin baik kalau rangkaian peristiwa yang berpuncak pada Pengucapan tiga Sumpah Pemuda itu didiskusikan secara kreatif. Benar bahwa Sumpah Pemuda yang terkenal itu dicetuskan dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Namun dua tahun sebelumnya, seperti diungkap Sudiyo lewat buku Perhimpunan Indonesia sampai dengan Lahirnya Sumpah Pemuda (1989), telah dilakukan Kongres Pemuda I mulai tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926 di Batavia (Jakarta). Kongres Pemuda I atau Kerapatan Besar Pemuda dihadiri oleh perwakilan dari perhimpunan pemuda/pemudi termasuk Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Theosofi, dan masih banyak lagi.

Tujuan Kongres Pemuda I, seperti dikutip dari buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (1996) karya Mardanas Safwan, antara lain mencari jalan membina perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu dengan membentuk sebuah badan sentral dengan maksud :
Pertama, untuk memajukan persatuan dan kebangsaan Indonesia, serta yang kedua adalah demi menguatkan hubungan antara sesama perkumpulan pemuda kebangsaan di tanah air.
Namun, Kongres Pemuda I diakhiri tanpa hasil yang memuaskan bagi semua pihak lantaran masih adanya perbedaan pandangan. Setelah itu, digelar lagi beberapa pertemuan demi menemukan kesatuan pemikiran. Maka, disepakati bahwa Kongres Pemuda II akan segera dilaksanakan.

Peristiwa Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II itu dilangsungkan selama dua hari pada 27 dan 28 Oktober 1928 di Batavia. Hari pertama, kongres menempati Gedung Katholikee Jongelingen Bond atau Gedung Pemuda Katolik. Sedangkan kongres di hari kedua diadakan di Gedung Oost Java (sekarang di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat). Tujuan Kongres Pemuda II antara lain: (1) Melahirkan cita-cita semua perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia, (2) Membicarakan beberapa masalah pergerakan pemuda Indonesia; serta (3) Memperkuat kesadaran kebangsaan dan memperteguh persatuan Indonesia.

Kongres ini diikuti oleh lebih banyak peserta dari kongres pertama, termasuk Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemuda Indonesia, Jong Celebes, Jong Ambon, Katholikee Jongelingen Bond, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun dan lainnya. Hadir pula beberapa orang perwakilan dari pemuda peranakan kaum Tionghoa di Indonesia dalam Kongres Pemuda II ini, seperti Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie, namun asal organisasi/perhimpunan mereka belum diketahui.

Gedung yang nantinya menjadi tempat dibacakannya Sumpah Pemuda merupakan rumah pondokan atau asrama pelajar/mahasiswa milik seorang keturunan Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, ini kini diabadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda.

Adapun susunan panitia Kongres Pemuda II, seperti yang dituliskan Ahmad Syafii Maarif melalui buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2009) adalah sebagai berikut: Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI) Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java) Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond) Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond) Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond) Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemuda Indonesia) Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes) Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon) Pembantu V: Mohammad Rochjani Su’ud (Pemuda Kaum Betawi).

Hadir pula Wage Rudolf Supratman yang memainkan lagu Indonesia Raya di Kongres Pemuda II dengan alunan biolanya. Lagu Indonesia Raya juga dinyanyikan untuk pertamakalinya dalam kongres ini oleh Dolly Salim yang tidak lain adalah putri dari Haji Agus Salim.

 

Meracik Makna ‘Sumpah Pemuda’

Para pemuda saat itu, tentu tidak sedang ‘mencari panggung’ demi pencitraan diri semata. Mereka sedang mempertaruhkan ‘masa depan’ bangsa yang bernama Indonesia itu. Kebernjutan proyek ‘membangsa’ yang disebut Indonesia itu sangat bergantung pada komitmen dan tekad bersama dari segenap komponen kawula muda.

Sumpah atau janji dalam perspektif teologis adalah sebentuk ‘doa harapan’. Karena itu, sumpah itu dilihat sebagai ‘tugas’ yang mesti ditepati. Kita mengorbankan segalanya agar sumpah itu tidak dikhianati. Saya kira, sumpah (doa) dari pemuda itu terbukti kemanjurannya hingga detik ini.
Akhirnya, setelah melalui prosesi panjang selama 2 hari, maka pada 28 Oktober 1928, para peserta Kongres Pemuda II bersepakat merumuskan tiga janji yang kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda.

Adapun isi Sumpah Pemuda adalah sebagai berikut: Pertama, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua, Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Menurut Azyumardi Azra, seperti dikutip oleh Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010), Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam mengawali kesadaran kebangsaan. Sementara dalam buku Literasi Politik (2019) yang ditulis Gun Gun Heryanto dan kawan-kawan diungkapkan bahwa ikrar sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan ikrar yang sangat monumental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ikrar ini atau Sumpah Pemuda yang dibacakan di arena Kongres Pemuda II dan dihadiri oleh kaum muda lintas suku, agama, dan daerah, nantinya, 17 tahun kemudian, melahirkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945.

Makna yang terkandung adalah bahwa peristiwa bersejarah itu mengajarkan nilai-nilai persatuan bangsa. Sumpah Pemuda membuktikan, perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata dapat disatukan sebagai perwujudan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Sumpah Pemuda juga memuat banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sri Sudarmiyatun dalam buku berjudul Makna Sumpah Pemuda (2012) menyebutkan nilai-nilai Sumpah Pemuda antara lain: Nilai patriotisme, gotong-royong, musyawarah untuk mufakat, cinta tanah air, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan, kerukunan, kerja sama, cinta damai, serta tanggung jawab. Karena itu, Sumpah Pemuda hendaknya bisa dijadikan sebagai inspirasi bagi generasi muda Indonesia sekarang untuk membawa negara ini ke arah perubahan yang lebih baik, bukan justru terpecah-belah dalam pusaran konflik antar sesama anak bangsa sendiri.

*)Penulis, Pemerhati masalah sosial dan politik.