Sekretaris Umum Kahmi Bangka Belitung, Fachrizal, SH., M.KN

Teori efek cobra pertama kali dicetus oleh seorang ekonom Horst Siebert. Teori ini menjelaskan suatu kebijakan yang bertujuan baik untuk mengatasi masalah namun mempunyai efek sebaliknya.

Tampaknya teori efek cobra ini sangat pas untuk menggambarkan anekdot yang dilakukan oleh pemerintah dengan menyediakan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28/2024 yang menjadi polemik terkhusus pasal 103 ayat 4 huruf (e).

Pemerintah dalam rangka mengupayakan pelayanan kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja menyediakan alat kontrasepsi. Kebijakan yang tertuang dalam pasal ini menurut pemerintah bertujuan baik untuk edukasi dimana kesehatan reproduksi usia remaja menjadi perhatian.

Pemerintah juga melalui Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pelayanan kontrasepsi bukan untuk anak sekolah melainkan remaja yang mengalami pernikahan dini.

Pemerintah telah mengundangkan PP 28/2024 ini pada tanggal 26 Juli 2024 di Jakarta pada Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2024 nomor: 135. PP ini adalah turunan dari Undang-undang nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang berisi 1.172 pasal.

Semangat dari lahirnya PP ini sesungguhnya sangatlah baik karena untuk melindungi kesehatan masyarakat.

Akan tetapi PP ini menjadi polemik ketika ada klausul yang mengatur tentang penyediaan alat kontrasepsi dalam upaya kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja.

Di dalam pasal 103 dinyatakan “Upaya kesehatan sistim reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi dan edukasi serta pelayanan kesehatan reproduksi”.

Pasal 103 ayat 4 menyatakan “Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. Deteksi dini penyakit atau skrining
b. Pengobatan
c. Rehabilitasi
d. Konseling
e. Penyediaan alat kontrasepsi

Di dalam penjelasan pasal PP ini, dikatakan cukup jelas sehingga tidak perlu lagi ditafsirkan lain selain yang ada didalam redaksional pasal tersebut.

Apa yang disampaikan oleh pemerintah pemberian alat kontrasepsi ini bertujuan baik karena yang dituju bukan anak usia sekolah nyata nya berbeda dengan yang tertuang dalam pasal 103 diatas.

Bahwa alat kontrasepsi diberikan kepada anak usia sekolah bukanlah jawaban atas persoalan kesehatan reproduksi remaja, justru pasal ini adalah pasal yang secara tidak langsung memberikan legalisasi kepada anak usia sekolah dan remaja untuk melakukan praktik pergaulan bebas.

PP ini tentu akan diturunkan lagi secara teknis melalui peraturan menteri kesehatan. Jika pasal ini tidak dilakukan revisi tentu akan ada distribusi alat kontrasepsi karena dalam pasal 103 dinyatakan redaksinya adalah pelayanan kesehatan reproduksi.

Kita tahu bahwa alat kontrasepsi adalah alat untuk mencegah atau menunda terjadinya kehamilan.

Penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja adalah usaha preventif dalam mengupayakan kesehatan remaja adalah jalan keliru yang diambil pemerintah.

Justru efek penyediaan alat kontrasepsi ini akan menyuburkan praktik permisif untuk melakukan hubungan seksual diluar perkawinan di kalangan remaja.

Keberadaan pasal 103 ayat 4 huruf (e) ini memberikan fasilitas kepada anak usia sekolah dan remaja untuk melakukan hubungan seksual secara bebas karena ada alat kontrasepsi.

Oleh karena itu jika tujuan pemerintah untuk memberikan edukasi dan mengupayakan kesehatan reproduksi remaja maka.masih banyak cara lain, bukannya menyediakan alat kontrasepsi. Maka teori Efek cobra menjadi nyata dalam PP ini.

Tanpa pemerintah menyediakan alat kontrasepsi saja, menurut BKKBN, pada tahun 2023 telah tercatat bahwa pada remaja usia 16-17 tahun ada sebanyak 60 persen yang melakukan hubungan seksual, usia 14-15 tahun ada sebanyak 20 persen dan usia 19-20 tahun ada sebanyak 20 persen (ditsmp.kemendikbud.go.id). Apalagi jika pemerintah sampai menyediakan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja.

Oleh karena itu agar tidak terjadi efek cobra pada masyarakat kita maka revisi dengan menghapus pasal 103 ayat 4 huruf (e) adalah sebuah keniscayaan.