Tradisi Toron merupakan fenomena mudik yang khas dan unik di kalangan masyarakat Madura. Secara harfiah, kata “toron” dalam bahasa Madura berarti turun. Namun, dalam konteks budaya, menurut sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, Toron dipandang sebagai cara untuk menyambung kembali ikatan kekeluargaan setelah lama merantau, terutama menjelang perayaan hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Tradisi Toron masyarakat Madura lebih dari sekadar aktivitas mudik biasa. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai solidaritas, kebersamaan, dan penghormatan terhadap leluhur yang masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Madura. Meski zaman terus berubah, tradisi ini tetap bertahan dan menjadi bagian integral dari identitas budaya Madura.

Dalam budaya Madura, tradisi toron tidak hanya berarti kembali ke rumah secara fisik tetapi juga kembali ke akar dan nilai-nilai yang membentuk identitas seseorang. Nilai-nilai ini termasuk rasa hormat kepada orang tua dan leluhur, solidaritas antar anggota keluarga, serta tanggung jawab sosial terhadap komunitas asal.

Filosofis Tradisi Toron dan Idul Adha

Tradisi ini biasanya dilakukan saat menjelang perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Khusus untuk Idul Adha, tradisi ini sangat istimewa bagi masyarakat Madura. Selain bertemu keluarga, mereka juga melakukan nyekar atau nyalase, yaitu ziarah ke makam leluhur untuk mendoakan mereka. Dalam tradisi ini, terdapat dua istilah penting; “Toron” yang berarti turun ke bawah dan “Toron Tana” yang berarti turun ke tanah, yang keduanya mencerminkan makna mendalam dari kembali ke asal-usul dan tanah kelahiran.

Nyekar bukan hanya sekadar berdoa di makam, tetapi juga menjadi momen refleksi dan penghormatan terhadap sejarah keluarga. Ini adalah saat di mana masyarakat Madura mengingat jasa-jasa leluhur mereka dan menyegarkan kembali komitmen untuk melanjutkan nilai-nilai yang telah diwariskan.

Dimensi Sosial dan Ekonomi

Tradisi Toron juga memiliki dimensi sosial dan ekonomi. Masyarakat Madura yang kaya atau berhasil di perantauan dianggap memiliki kewajiban moral untuk membantu kerabat dan tetangga yang kurang mampu di kampung halaman. Hal ini sejalan dengan pepatah Madura “mon sogi pasogha’” yang berarti “jika sudah kaya harus membantu yang miskin”. Hal ini mencerminkan nilai solidaritas yang tinggi di masyarakat Madura, di mana yang kuat membantu yang lemah.

Bentuk bantuan ini bisa beragam, mulai dari bantuan finansial langsung hingga kontribusi dalam bentuk pembangunan infrastruktur desa, seperti perbaikan jalan, pembangunan masjid, atau fasilitas umum lainnya. Tradisi ini membantu menjaga keseimbangan sosial dan ekonomi di kampung halaman, mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan miskin, dan memastikan bahwa semua anggota komunitas dapat merasakan manfaat dari keberhasilan individu-individu yang merantau.

Pelestarian Budaya sebagai Pengikat Identitas Kebersamaan

Tradisi ini telah menjadi bukti nyata bagaimana masyarakat Madura memelihara hubungan kekeluargaan dan budaya mereka, menjadikan tradisi ini sebagai salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial mereka. Tradisi ini tidak hanya mempererat hubungan antar anggota keluarga, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan rasa kebersamaan di tengah-tengah masyarakat modern yang terus berubah.

Di era globalisasi ini, pelestarian tradisi seperti Toron menjadi semakin penting. Tradisi ini mengingatkan masyarakat akan asal-usul mereka dan memberikan pegangan moral serta identitas di tengah perubahan sosial yang cepat. Toron juga berfungsi sebagai alat pendidikan budaya bagi generasi muda, mengenalkan mereka pada nilai-nilai yang telah lama dijunjung tinggi oleh nenek moyang mereka.

Mengigat nilai-nilai luhur masyarakat Madura yang menekankan pentingnya silaturahmi, penghormatan kepada leluhur, dan solidaritas sosial, tradisi ini patut dipertahankan dan dihargai, mengingat kontribusinya yang signifikan dalam menjaga keutuhan dan kesejahteraan masyarakat Madura di tengah dinamika kehidupan modern.

Selain itu, tradisi toron juga berperan penting dalam membangun jaringan sosial yang kuat. Kembali ke kampung halaman memberikan kesempatan bagi para perantau untuk bertukar informasi, berbagi pengalaman, dan memperkuat ikatan sosial yang dapat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam situasi darurat.

Meski tradisi Toron masih kuat dipegang oleh masyarakat Madura, tantangan tidak bisa dihindari. Modernisasi dan urbanisasi telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara orang melihat dan menjalani tradisi. Generasi muda mungkin merasa kurang terkait dengan tradisi ini karena gaya hidup modern yang berbeda.

Namun, dengan usaha yang konsisten dari berbagai pihak, ada harapan bahwa tradisi ini akan tetap hidup dan relevan. Integrasi teknologi dalam pelestarian budaya, seperti pembuatan dokumenter, pengajaran melalui media sosial, dan aplikasi digital untuk mengingatkan jadwal tradisi, bisa menjadi solusi untuk menarik minat generasi muda.

Penulis: Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UNISMA