Oleh: Kadarisman
Presidium Majelis Daerah KAHMI Tabalong

Menikmati sesuatu itu lazimnya karena sesuatu yang nyaman. Misalnya rumah megah, mobil mahal, makanan restauran, hiburan berkelas dan apapun. Kenyamanan melahirkan rasa diri menikmati apa yang tersedia.

Lalu bagaimana menikmati Ketidaknyamanan?

Tidakkah ini berlebihan untuk mengatakan ketidaknyamanan mesti dinikmati. Tidak nyaman yang tidak nyaman. Padahal soal nikmat adalah soal apa yang nyaman.

Sejatinya nyaman dan tidak nyaman itu ilusi. Dia hadir dan tak hadir karena atas undangan dan nilai yang diberikan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran telah memberi makna-makna atas segala sesuatunya.

Pada akhirnya nyaman dan tak nyaman seseorang lebih dipengaruhi oleh respon pikirannya sendiri dari pada kenyataan dan fakta dalam kehidupan itu sendiri.

Kesejatian fakta dan kenyataan itu bersifat netral. Apapun kenyataanya sama sekali tidak mampu memberi dampak apapun bagi seseorang.

Dampaknya baru akan muncul ketika seseorang mengambil pilihan dari respon yang dikehendakinya. Jika responnya negatif, maka data-data berkaitan dengan perasaan negatif yang disimpan permanen oleh otak bawah sadar akan diundang keluar semua.

Data-data itu kemudian memengaruhi cara seseorang bertindak, pada akhirnya destruktif menjadi fakta baru yang mewarnai dinamikanya.

Sebaliknya jika responnya positif, otak pun bekerja seperti rumusnya. Maka yang diundang oleh pikiran dari otak bawah sadar adalah hanya hal-hal positif.

Apapun yang hendak dilakukan seseorang selalu didukung data otak bawah sadar. Pada akhirnya yang hadir kemudian adalah sesuatu yang konstruktif, membangun orang lain dan itu juga membangun dirinya sendiri.

Jadi kenyataan getir apapun yang kita dapati dalam hidup ini, itu sudah pasti bukan masalah. Dia menjadi masalah bagi orang yang meresponnya dengan cara yang salah.

Karena itu kita dapat membenahi respon kita terhadap ujian yang ditimpakan, kita mampu membenahi diri menjadi lebih baik. Dengan begitu kenyataan-kenyataan pun akan berubah baik tanpa perlu kiat merubah kenyataan.

Demikian persoalan nyaman dan ketidaknyamanan itu ada dalam pikiran sebagai ilusi. Jika seseorang yang terbiasa makanan mewah, kelas restauran akan merasa tidak nyaman jika harus berpindah ke tempat makan sekelas warung jalanan, pikiran secara otomatis memberikan respon seketika sesuai pemaknaan yang tersimpan sebelumnya.

Pada kondisi ini hadir “keterasingan” rasa yang kemudian diterjemahkan sebagai keadaan tidak nyaman oleh sistem memori.

Sebaliknya kebiasaan bersajikan menu makan lauk mandai dan kelakai, pucuk takai dan petai akan merasa tidak nyaman jika kemudian dihadapkan dengan sushi, sashimi, dorayaki atau kumchi dan bulgugi.

Beberapa tahun lalu saya mengajak sekira 15 orang tamu bersantap malam di sebuah restauran Jepang ternama di Jakarta. Ketika makan wajah mereka tidak menyiratkan senang hati.

Begitu keluar restauran Jepang itu, mereka bergegas mencari makanan seafood yang biasa berjejer menggunakan tenda di pinggir jalan. Menu istimewa dan mahal bagi mereka tak nyaman. Pilihan nyaman mereka warung tenda, yang ada petainya nangkring di tiang tenda.

Perasaan nyaman atau tidak, bahagia atau tidak itu perasaan yang sama-sama tumbuh di semua kelas sosial manusia, tapi sama sekali tidak dipengaruhi oleh kasta atau kedudukan sosial apapun.

Itu sebab kerap didengar, nyaman dan tidak nyaman itu tidak terletak pada apa yang tersedia mentereng atau tidak.

Seperti juga bahagia, tidak ditentukan oleh seberapa kaya dan tinggi jabatannya. Kalau orang yang jabatannya tinggi bisa bahagia tak ada beda dengan yang tidak punya jabatan apapun.

Kalau orang kaya bisa bahagia maka orang yang merasa cukup juga bisa bahagia. Di dalam Al-qur’an padanan kaya adalah kecukupan bukan miskin.

Seperti Allah telah menyebut penciptakan tertawa dan menangis pada QS an Najm: 43, mematikan dan menghidupkan di sambungan surah yang sama pada ayat 44, laki-laki dan perempuan pada sambungan ayat 45 berikutnya, lalu kaya dan kecukupan di ayat 48.

Ciptakan energi yang baik dalam diri maka kebaikan akan datang. Rezeki bukan soal harta, tahta dan jabatan. Bukankah kenyamanan hati, rasa syukur yang selalu hadir, cinta dan kasih sayang yang bertumbuh, zikir-zikir yang khusuk yang terhubung kepada Tuhan, bukankah itu rezeki yang jauh lebih besar juga. Itu jauh lebih bahagia dari pada mengemban jabatan tapi menjalankan peran yang menentang hati nurani sendiri.

Dalam sebuah seminar saya sering mengutip ujaran dari filsuf Rusia, Leo Tolstoy. Menurut pengarang novel ‘Ana Karenina’ tersebut tak ada hal penting apapun dalam hidup ini kecuali 3 hal penting berikut ini:

Pertama adalah kepedulian yang terus bertumbuh. Bukankah kepedulian ini titik tekan yang pernah disampaikan Rasulullah SAW. Nabiyullah SAW bilang, sebaik-baik manusia adalah manusia yang menjadi manfaat buat orang lain. Itu kan disuruh peduli.

Kedua, jika rasa peduli itu tumbuh, maka yang paling layak mendapatkan kepedulian itu adalah orang terdekat. Jika ingin melejitkan orang yang jauh, lejitkan dulu orang-orang sekitar. Jika ingin membahagiakan orang luar, bahagiakan dulu orang dalam, jika ingin mensejahterakan Indonesia, keluarga jangan dilupakan, jika ingin menumbuhkan masyarakat maka kita tumbuh dulu, jika ingin memberi efek positif ke external maka di internal positif dulu. Jika ingin membahagiakan kekasih tersayang, hehe.. jangan lupa orang tuamu bahagiakan dulu. Tapi yang terbalik kan banyak juga, orang tua dilupakan malah mantan aja yang selalu terbayang.

Ketiga, mulai dari sekarang. Jika ada good will jangan pernah tunda buat besok. Jika ada kebaikan, saat ini adalah pilihan untuk dilakukan.

Kebaikan tidak untuk ditunda, karena tidak ada sesuatu yang pasti hari esok kecuali ada kematian yang datang kapanpun tanpa kita tahu.

Mumpung punya kuasa gunakan sebagai kebaikan. Karena rumus kebaikan pasti membuat banyak keuntungan. Tidak ada orang yang gemar sedekah itu bangkrut. Malah kita sering dengar yang bangkrut itu yang pelit.

Mumpung ada jabatan jadikan itu sumber maslahat. Tak ada memaslahatkan orang itu bikin rugi. Rugi itu kalau jabatan menimbulkan keputusan-keputusan yang membuat orang lain terimbas belum baik karena keputusan jabatannya.

Sejurus kemudian kelak muncul bayang-bayang rasa berdosa dan bersalah. Muncul tayangan gurat raut wajah orang-orang terzalimi dampak dari keputusan dari konsekuensi jabatan yang dia sendiri tidak ingin itu terjadi. Tapi apalah daya, konsekuensi di satu sisi dan tanggungjawab di sisi lainnya.

Namun apapun yakini saja, tidak ada keputusan yang tidak baik. Yang ada keputusan yang level baiknya masih rendah saja.

Ketidaknyamanan itu selalu hadir di keadaan dan kepada siapapun. Tapi sekali lagi, nikmati saja ketidaknyamanan itu. Dengan begitu nanti akan nyaman.

Dan senikmat-nikmat kenyamanan adalah kenyamanan yang dalam pandangan hati muncul kedamaian karena wujud Tuhan ada dalam tiap sikap dan keputusannya. *