Menjaga Kampus dari Praktek Kotor
Catatan Mahmud Marhaba
(Plt Ketua Umum DPP PJS)
Bangsa ini dikejutkan dengan tertangkapnya Rektor Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Karomani dalam dugaan kasus suap penerimaan calon mahasiswa baru (Maba) jalur mandiri. Dirinya bersama sejumlah tersangka lainnya terjebak Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang terjadi Jumat, 19 Agustus 2022 sekitar pukul 21.00 WIB. Mereka langsung digiring ke kantor KPK dan ditetapkan sebagai tersangka. Nilai korupsinya cukup fantastis yakni sebesar 5 miliar rupiah.
Karomani yang masa jabatannya berakhir tahun 2024 itu memiliki kewenangan menentukan kelulusan mahasiswa pada Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila). Bersama rekan kerjanya, Rektor Lampung itu memerintahkan Heryandi sebagai Wakil Rektor I bidang Akademik, Budi Sutomo sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat dan Muhammad Basri sebagai Ketua Senat melakukan seleksi kepada calon mahasiswa yang orang tua-nya memiliki kesanggupan dana untuk meloloskan anaknya dalam ujian penerimaan Maba dengan komitmen menyerahkan sejumlah uang yang ditetapkannya. Ketiganya kini resmi menjadi tahanan KPK bersama Andi Desfiandi dari pihak luar kampus.
Meski Karomani telah menyatakan secara terbuka permohonan maaf kepada keluarga besar akademisi namun perbuatannya telah melukai institusi pendidikan secara keseluruhan. Apalagi korupsinya dilakukan secara berjamaah. Ya, tidak ada tindakan lain selain menjatuhkan hukuman berat kepada para terduga korupsi dilingkungan kampus sebagai efek jera bagi yang lain.
Deretan Kampus Tersandung Kasus
Meski ini bukan kasus pertama terjadi di dunia pendidikan khususnya dilingkungan kampus, namun hal ini membuat dunia pendidikan tercoreng. Sejumlah rektor perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta terlibat sejumlah kasus seperti dugaan pelecehan, plagiat, ijazah palsu dan korupsi. Tindakan ini sangat tidak terpuji apalagi itu terjadi di perguruan tinggi yang siap mencetak sumber daya manusia pemimpin masa depan bangsa.
Beberapa catatan sejumlah rektor yang tersandung kasus diantaranya :
1. Kasus Plagiat
Kasus dugaan plagiat yang dilakukan Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES), Fathur Rokhman terhadap disertasinya di Universitas Gajah Mada (UGM) tahun 2003, dimana dirinya dituduh melakukan plagiat terhadap karya skripsi mahasiswa bimbingannya di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNNES. Tahun 2021, kasusnya dinyatakan tidak terbukti atas dasar surat dari rektor UGM yang menegaskan jika disertasinya bukan hasil plagiat.
2. Kasus Pelecehan
Banyak oknum dosen yang terjebak dengan kasus pelecehan seksual. Ini pun menimpa Rektor Universitas PGRI Argopuro, RS, yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap salah seorang dosen di kampus tersebut. RS pun mengundurkan diri dari jabatan rektor.
3. Kasus OTT
Kepala Bagian Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta, Dwi Achmad Noor, terjaring OTT oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini berkat informasi dari Itjen Kemendikbud kepada KPK dimana diduga kuat akan ada penyerahan sejumlah uang yang berasal dari pihak Rektor UNJ kepada pejabat di Kemendikbud. 27,5 juta barang bukti diamankan pihak KPK. Karena Dwi tidak masuk pada penyelenggara negara, kasusnya diserahkan ke kepolisian. Oleh pihak kepolisian, kasusnya dihentikan karena tidak cukup bukti untuk mengiring dirinya dalam perbuatan tindak pidana korupsi.
4. Dugaan Rangkap Jabatan
Kasus ini cukup menyita perhatian publik. Dua rektor dari perguruan tinggi besar diduga tersandung kasus rangkap jabatan. Dwia Aries Tina Pulubuhu, Rektor Universitas Negeri Hasanuddin (UNHAS) Makassar dilaporkan merangkap jabatan sebagai komisaris pada sebuah perusahaan tambang PT Vale Indonesia. Kasus ini diungkap oleh mahasiswanya sendiri yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Unhas.
Hal yang sama juga dialami Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria. Dirinya dituding rangkap jabatan sebagai Plt. Komisaris Utama pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III. Tahun 2020, dirinya sudah tidak menjabat lagi sebagai Komut pada perusahan itu.
Demikian juga dengan Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro. Dirinya menjadi sorotan publik karena diduga merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama BRI. Beruntung, rektor UI ini menyatakan diri mundur dari jabatan Wakil Komisaris Utama.
Pilrek Rawan Suap
Patut dikawal secara ketat proses Pemilihan Rektor (Pilrek) disetiap perguruan tinggi negeri di tanah air. Proses ini rawan dengan praktek penyuapan. Mulai dari proses penentuan panitia Pilrek, proses pengajuan calon serta proses pemilihan.
Ini praktek korupsi yang diduga telah menjadi ‘budaya kotor’ disetiap proses Pilrek. Calon Rektor yang memiliki dana yang besar mampu mempengaruhi suara pemilih dikalangan kampus. Bahkan, sangat kuat dugaan calon rektor mampu memberi suara dari Kementrian. Perolehan suara mayoritas ditahap awal bukan menjadi jaminan seorang calon meraih suara terbanyak pada putaran terakhir yang menyertakan suara Kementrian. Ini tentunya tidak mencerminkan kehidupan kampus yang bermartabat. Campur tangan pihak berwajib termasuk pihak KPK diperlukan untuk mengawasi proses jalannya Pilrek. Mulai dari sinilah bibit korupsi itu terjadi. Bukan tidak mungkin calon rektor yang menang dengan cara-cara tidak wajar akan melakukan korupsi dalam perjalanan masa jabatannya karena harus mengembalikan uang yang telah digunakan dalam proses Pilrek sebelumnya.
Belajar dari sejumlah kasus inilah, proses penetapan calon rektor tidak mesti seorang guru besar, tetapi lebih kepada mereka yang memiliki integritas yang kuat. Mari kita jaga kampus tercinta yang melahirkan calon pemimpin negeri ini di masa mendatang.