Oleh: Erlina Effendi Ilas

(Komunitas Sayangi Sesama Tabalong)

Saya sering mendengar bagaimana politik itu diidentikkan dengan sesuatu yang kotor. Namun sering pula saya mendengar, terutama dari suami bahwa politik itu instrument mulia. Di beberapa kali zoom online suami yang sedang mengajar “Pengantar Ilmu Politik” di salah satu kampus di Banua tak satu pun bahwa politik itu tidak baik.

Politik dikatakan sebagai ikhtiar yang cara-caranya telah disepakati untuk mewujudkan kebaikan bersama. Jelas bahwa substandi politik adalah tiada bukan dan tiada lain untuk tujuan kebaikan mewujdkan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Landasan itulah yang membuat saya berpikir kenapa orang baik seperti Anies Baswedan ada dalam lingkaran politik. Karena kekuatan politik jika tidak dimenangkan oleh orang baik, maka dia akan direbut oleh kekuatan jahat untuk digunakan sebagai kepentingan sempit kelompok jahat itu sendiri.

Orang baik tidak boleh tidak memilih terjun kepada politik praktis agar tujuan awal politik dapat dikembalikan kepada tujuan bernegara.

Lima tahun ini saya melihat dinamika politik DKI yang menasional melalui saluran medsos dan pemberitaan mainstream. Saya melihat bagaimana Anies berada dalam atmosfir yang tidak mudah.

Dia diserang oleh partai yang berseberangan dengan pemerintah. Dia diserang para buzzer yang dibiayai oleh kekuasaan lainnya. Dia disudutkan dengan isu intoleran, menerima kekerasan rasis sebagai bukan Indonesia asli padahal jelas bahwa kakeknya salah satu yang dicatatkan oleh negara sebagai pahlawan nasional.

Anies bahkan masuk dalam skenario kekuasaan pihak tertentu untuk ditersangkakan KPK atas proyek Formula E yang telah mendatangkan keuntungan dua setengah kali lipat bagi DKI. Ada kekuatan lain yang menekan BPK untuk mengubah hasil audit yang sudah diberi predikat WTP dengan audit ulang dengan hasil temuan berbeda tentunya.

Tak satu pun Anies menggubris gangguan yang massif dan dikelola dengan sistematis tersebut. Setiap hujatan dia jawab dengan karya nyata. Tak ada waktunya untuk meladeni mulut usil musuh-musuh politiknya. Semua jawaban dia tumpahkan pada aksi nyata apa yang bisa memberikan catatan sejarah masa mendatang.

Alhasil jadilah infrastruktur-infrastruktur monumental seperti stadion bertaraf internasional JIS, sirkuit formula E kelas dunia, moda transportasi terintegrasi dan lain sebagainya. Isu intoleransi dan politik identitasnya dijawabnya dengan menyelesaikan kisruh gereja yang 34 tahun izinnya tak kunjung usai menjadi kelar di tangannya.

Di jaman Anies geraja melalui para pendeta ramai-ramai bersaksi dan memberikan apresiasi kepada Anies karena program Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI), termasuk guru-gurunya.

Tak satu pun saya mendengar Anies membalas hujatan musuh-musuhnya dengan hujatan. Seribu kali Anies dikatakan pembohong dan menjual ayat dan mayat, Anies bergeming terus berkarya dalam hening hingga akhir masa jabatannya selesai.

Anies Baswedan telah menginspirasi Indonesia bahwa politik kotor itu bukan pada politik, tapi cara-cara orang lain untuk mencapai kekuasaan politik. Anies mampu memilih untuk mengambil cara yang beradab untuk mewujudkan cara baik itu membangun kehidupan bangsa dan negara yang lebih baik. Akan tidak mungkin cara politik kotor dapat membangun bangsa ini menjadi bersih. Kehidupan bangsa ini akan baik jika dicapai dengan cara yang baik dan oleh orang-orang baik.

Anies kini telah lahir sebagai sang fenomenal baru membawa politik kepada kesejatiannya, yakni politik kebaikan yang diakualisasikan pada kebaikan cara-cara politik itu diraih hingga cara mengedepankan kebaikan bersama yang menjadi landasan kebijakan-kebijakannya.

Anies menjawab politik kotor bukan dengan cara yang sama-sama kotor, tapi dengan teladan dan sikap istiqomah untuk berkhikmat kepada rakyat untuk kebaikan bersama, termasuk kebaikan para penghujat dan musuh-musuh politiknya.

Perbedaan politik seharusnya dimaknai sebagai dinamika untuk saling memberikan kontrol agar kekuasaan tetap dijalankan sesuai relnya, bukan melegalisasi degradasi moral sehingga yang tampak politisi betul – betul kehilangan mortalitasnya.***