Oleh Wina Armada Sukardi pakar hukum dan etika persp

Dalam dunia pers, istilah narasumber pada intinya merujuk ke pihak tertentu yang memberikan keterangan atau informasi kepada wartawan.
“Pihak tertentu” ini dapat (1) perorangan; (2) organisasi; (3) korporasi dan (4) lembaga negara baik kementerian maupun non kementerian.

Adapun “ keterangan” atau “informasi” masih pula dibagi kepada beberapa bagian.

Pertama, berbentuk opini, pendapat atau tanggapan dari narasumber terhadap suatu topik atau permasalahan.

Jenis kedua, dalam bentuk kesaksian narasumber. Misalnya narasumber menguraikan yang dia lihat dan dengar sendiri terhadap suatu atau rentetan peristiwa. Narasumber ini menjadi saksi hidup yang dapat menceritakan atau mengungkap apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa itu, lantaran dia sebagai saksi , atau bahkan sebagai pelaku, hidup.

Ketiga, dapat berupa pemberian fakta atau data dari nara sumber. Contohnya, narasumber membeberkan data yang dia milikinya. Contoh lainnya, data berupa dokumen yang berisi kecurangan seorang pejabat. Fakta dan data itu diberikan oleh narasumber.

Siapapun narasumbernya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, narasumber itu punya otoritas di bidangnya. Artinya, kalau terkait pengetahuan dan keilmuan, narasumber harus memahami bidang itu. Dapat juga otoritas diperoleh dari pengalaman si narasumber. Kalau si narasumber mewakili organisasi, korporasi, atau lembaga harus dipastikan mereka
memang diberi tugas itu, sehingga mereka memiliki kewenangan mengatasnamakan organisasi, korporasi dan lembaga negara.

Syarat lainnya, narasumber harus relevan dengan substansi laporan atau berita yang dimuat wartawan. Pengertian “relevan” maksudnya harus ada hubungannya dengan isi pemberitaan, baik sebagai pelaku, kelompok, organisasi, korporasi atau lembaga pelaku. Relevan juga dapat berarti mungkin narasumber pihak yang terkena dampak dari peristiwa yang terjadi.

Informasi yang diberikan oleh narasumber ada yang bersifat bebas. Artinya, boleh disebarluaskan sesuai dengan keperluan pers yang memperolehnya. Pada kasus seperti ini nama atau identitas narasumber harus dicantumkan dengan jelas.

Selain itu, ada pula jenis keterangan atau informasi yang hanya untuk _background information_ atau informasi latar belakang pengetahuan buat pers. Keterangan seperti ini tetap boleh disebarluaskan juga, tetapi harus dikemas sedemikian rupa, seakan semua datangnya dari pengetahuan dari pers sendiri, dan bukan diperoleh dari narasumber. Dalam hal ini, tak ada penyebutan narasumber.

Selanjutnya ada keterangan yang sifatnya _off the record _ alias sama sekali tidak boleh disiarkan. Keterangan dan informasi ini benar-benar hanya dikhususkan untuk tambahan pengetahuan pers saja, dan tidak boleh disiarkan.

Kalau pers melanggar kesepakatan _off the record_ ini dalam dalam etika dan praktek jurnalistik, si narasumber boleh dan dapat membantah data dan fakta itu bukan berasal dari mereka. Ini sesuai dengan janji dari pers yang tidak akan menyiarkan berita _off the record. _ Dengan kata lain, memang bahan-bahan itu bukan untuk disiarkan.

Kalau kemudian pers menyiarkannya, pers yang bersangkutan dapat dinilai telah melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang pada prinsipnya menegaskan,”Wartawan menghormati ketentuan _off the record._”

Masih ada lagi, narasumber yang memberikan data atau fakta, dan bahan tersebut boleh disiarkan, namun nama dan identitas narasumber sama sekali tidak boleh disinggung. Narasumbernya bahkan wajib disembunyikan. Hal ini biasanya berlaku untuk kasus-kasus sensitif atau menyangkut kepentingan publik yang lebih besar.

Kenapa narasumbernya harus “disembunyikan?” Alasannya, dalam kasus-kasus tertentu yang menyangkut kepentingan publik yang luas, pada satu sisi pers membutuhkan fakta dan data yang konkrit. Pers membutuhkan informasi tersebut. Kenyataannya, data dan fakta tersebut amat sulit diperoleh. Kalau pun ada pihak yang memiliki fakta dan data tersebut, karena beberapa hal, mereka tidak dapat memberikan atau mengemukakannya kepada pers. Misal lantaran jabatan yang tidak memungkinkan memberikan fakta dan datanya. Keselamatan diri dan keluarga menjadi pertimbangan lainnya. Kalau pihak itu memberikan fakta data yang diperlukan pers secara terbuka, kemungkinan besar keselamatan diri dan keluarga dapat terancam, bukan saja keperdataannya dapat dimatikan, namun dia sendiri dan keluarganya dapat mengalami penganiayaan berat, bahkan mungkin sampai dibunuh. Untuk menghindari hal itu, seluruh identitasnya perlu dilindungi.

Pers harus menghormati asas ini. Jika pers kemudian “dipaksa” dari segi apapun untuk mengungkapkan siapa narasumbernya dalam kasus-kasus seperti ini, pers harus tetap tutup mulut. Bahkan ketika lantaran kasus ini pers terancam dihukum, pers wajib tetap bungkam. Bagi pers yang benar, lebih baik dirinya dihukum daripada harus mengungkapkan siapa narasumber sebenarnya.

Pers yang menguak siapa narasumbernya dalam kasus-kasus seperti ini berarti pers tersebut secara etika telah melakukan penghianatan terhadap profesinya. Tak cukup sampai disitu, pers yang tak dapat memegang komitmen ini diancam pula oleh hukum pidana. Pers seperti itu memenuhi unsur pidana,”Siapa yang karena profesinya harus menyimpan rahasia membocorkannya” sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Sistem penyembunyian narasumber ini lazimnya dipakai dalam _investigative reporting_ atau laporan penyelidikan. Guna membongkar suatu selimut yang membungkus suatu kasus, pers perlu bukti. Perlu fakta dan data. Itu ada pada narasumber. Demi kepentingan publik, pers membutuhkan bukti itu. Hanya saja kalau narasumbernya disebut, mereka hampir pasti celaka. Maka tanggung jawab para narasumber diambil alih oleh pers dan identitas narasumbernya sendiri tak dimunculkan.

Dalam jurnalistik semua keterangan atau informasi dari narasumber pada prinsipnya sebelum disiarkan ke publik atau masyarakat, harus lebih dahulu diverifikasi “kesahihannya” Verifikasi dapat dilakukan dengan melakukan cek and rechek terhadap semua keterangan atau informasi yang didapat wartawan dari narasumber manapun. Setelah itu pun, masih memerlukan keberimbangan. Artinya, keterangan atau informasi dari narasumber dalam penyajiannya perlu disandingkan dengan keterangan atau informasi dari narasumber lain. Ini disebut -cover both side._ Kedua belah pihak, atau kedua sisi, yang terkait dengan berita, perlu diberikan kesempatan yang sama. Sekarang malah bukan lagi _cover both side_ tapi sudah _cover all side._ Dengan kata lain, semua pihak yang terkait pemberitaan perlu diberikan kesempatan memberikan tanggapan.

Perbedaan sudut pandang dan kepentingan dapat saja membuat keterangan atau informasi dari para narasumber menjadi berbeda isinya. Hal itu dalam dunia pers, wajar, biasa. Pers tidak pernah menafikan adanya perbedaan. Pers menghormati keragaman, kebhinekaan. Disinilah pers menjunjung tinggi demokrasi. Bagi pers perbedaan itu menjadi lahan pergumulan mencari kebenaran. Disini pers menganut asas “biarlah nanti publik atau masyarakat yang menilai mana dari semua yang benar dan dapat dipercaya.”

Dalam dunia pers, darimana pun datang keterangan atau informasi harus didengarkan. Harus diperhatikan. Siapa tahun dapat menjadi potongan puzzle yang dibutuhkan, bahkan menjadi awal suatu kasus (penting). Hanya saja, hal itu tidak bermakna otomatis semua keterangan atau informasi itu harus disiarkan atau ditayangkan pers. Terhadap semua keterangan dan informasi yang ada yang ditampung, pers harus lebih dahulu skeptis. Maksudnya, terhadap semua keterangan dan informasi itu pers mesti lebih dahulu mempertanyakan kebenaran dari keterangan dan informasi itu. Apalagi kalau keterangan itu berasal dari pihak yang dapat mempunyai kepentingan yang berlainan dengan kepentingan publik. Pernah ada kasus narasumber memberikan keterangan tangannya sampai dipahat. Dan pers hampir semuanya mengutip. Belakangan setelah diperiksa di Dewan Pers, peristiwanya tidak demikian halnya. Bahkan pernah dalam sebuah sidang pengadilan terbuka, si terdakwa dalam bahasa daerah tertentu mengaku “tidak tahu, tidak tahu.” Apapun yang ditanyakan kepadanya, dia menjawab konsisten, terus menerus mengatakan “tidak tahu.” Pembelanya menekankan si terdakwa ada kemungkinan sakit jiwa, sehingga patut dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Manakala dia pulang dari sidang pengadilan , dia ikut diantar mobil sang pembela. Hanya saja tidak sampai tujuan tempat tinggalnya, melainkan diturunkan di jalan.

Seorang wartawan, untuk membuktikan kebenaran keterangan yang diberikan terdakwa di pengadilan, membuntutinya. Rupanya si terdakwa dapat membedakan nomer bis kota dan jurusan mana (waktu itu di Jakarta masih banyak bus kota dengan nomer dan jurusan tertentu).
Ternyata, dari hasil penyelisikan atau penyelidikan wartawan ini, terdakwa sama sekali tidak mengalami gangguan jiwa. Dia dapat membedakan kenyataan sosial, termasuk nomer dan jurusan bus. Di tempat tinggalnya yang sebagian besar suku yang sama dengannya dirinya, dia bahkan dapat berinteraksi sebagaimana manusia waras lainnya.

Jadi, semua keterangan dan informasi yang diterima, harus disikapi pers dengan skeptis. Banyak dari keterangan dan informasi tersebut yang kelas “sampah” dan lantaran itu tidak layak disiarkan. Tapi tak sedikit pula yang memiliki “nilai berita” sehingga memang layak diapungkan sebagai berita. Disinilah pers harus lebih dahulu mengolah dan menyelisik semua keterangan dan informasi yang masuk dari narasumber. Belum tentu semua informasi atau keterangan dari narasumber benar. Sebaliknya belum tentu pula semua informasi dan keterangan dari seluruhnya salah. Makanya harus ada proses seleksi. Setelah disaring dan dipilah-pilah, barulah bahan-bahan itu “fit to print” alias layak disiarkan.

Posisi pers terhadap semua narasumber netral. Pers tidak membabi buta memaki pihak tertentu, tapi pers juga tidak menjilat-jilat pihak tertentu. Pers bukan hakim yang menentukan siapa benar dan siapa salah. Seluruh bahan yang disajikan pers diserahkan kepada publik untuk menilainya.

Kalaupun berpihak, satu-satunya keberpihakan pers adalah kepada kemanusiaan manusia. Pers membela kemanusiaan manusia. Siapapun narasumbernya, apapun jenis narasumbernya, apapun isi keterangan dari informasi dari narasumber, dan bagaimanapun perlakuan terhadap narasumber, bagi pers semuanya didedikasikan buat mengangkat harkat martabat kemanusiaan manusia. Buat kepentingan publik.***