Nasionalisme dalam Berbahasa (Refleksi Sederhana pada Bulan Bahasa)
Oleh : Sil Joni *)
Tinggal beberapa hari lagi, bulan Oktober yang secara nasional dibaptis sebagai ‘Bulan Bahasa’ akan segera berlalu. Sayang sekali bahwa pada Bulan Bahasa tahun 2020 ini, di tingakat Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) tak ada aktivitas atau program yang secara khusus dikreasi untuk memaknai ‘momentum penyadaran’ akan kecintaan kita pada ‘Bahasa Indonesia’.
Mungkin sebagian besar energi, waktu, dan anggaran dipakai untuk menekan laju penyebaran wabah Covid-19. Para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya tak cukup modal untuk membiayai kegiatan yang bersifat produktif dan akademis dalam mengisi dan memaknai ‘bergulirnya Bulan Bahasa’ tersebut.
Saya berpikir, Negara tentu mempunyai ‘alasan yang mendasar’ mengapa mesti ada satu momen khusus untuk ‘menggauli Bahasa Indonesia’ secara lebih intensif. Bahasa (Indonesia) sebetulnya lebih dari sekadar ‘sarana komunikasi’ semata. Bahasa itu merupakan simbol identitas rasa kebangsaan (nasionalisme) sebagai bangsa Indonesia. Ketika kita kita bergaul dengan Bahasa Indonesia, maka sadar atau tidak kita memproklamirkan kepada dunia bahwa kita adalah Bangsa Indonesia.
Namun, fenomen ‘globalisasi dan modernisasi’ pelbagai bidang kehidupan rupanya turut memengaruhi ‘kadar kecintaan’ kita pada Bahasa Indonesia yang bukan tidak mungkin berimplikasi pada tererosinya rasa nasionalisme kita. Gejala menguatnya mengadopsi dan mengadaptasi ‘terminologi teknis’ dari bahasa asing yang diperagakan oleh para pejabat publik, selebritis, jurnalis, penulis, dan semua komponen lainnya, menjadi sebuah indikasi bahwa ‘kedaulatan Bahasa Indonesia’ sedang mengalami guncangan.
Penggunaan idiom asing tampaknya dilihat sebagai ukuran prestise dan kehebatan diri. Ada semacam anggapan yang keliru bahwa mutu sebuah pembicaraan atau wacana tertulis ditentukan oleh seberapa banyak kata-kata asing digunakannya. Kita akan mengagumi mereka yang ‘fasih dan doyan’ memakai ungkapan asing untuk menjelaskan sebuah isu atau tema.
Untuk mempertajam isu soal ‘superioritas Bahasa Asing’ itu, penulis coba membentangkan kembali sebuah kisah kecil yang terjadi pada bulan Oktober tahun 2018 yang lalu. Dinas PPO Mabar kala itu menfasilitasi kegiatan “Speech and Storytelling Competition” tingkat SMP se-Kab. Mabar yang akan digelar pada 6 November mendatang. Sosialisasi terhadap “rencana itu” digelar secara resmi. Perwakilan dari 48 SMP mengikuti kegiatan sosialisasi itu secara serius di aula dinas PPO. Kebetulan, saya secara tidak sengaja “hadir” dalam pertemuan itu.
Entah mengapa ‘energi atensi’ saya terfokus pada ide yang meluncur dari seorang peserta. Ia dengan “berani dan jernih” mengkritisi pihak panitia tentang “ketidaksesuaian” antara tajuk acara dengan “materi” yang dilombakan.
Tema acaranya, demikian sang pengkritik ini, perlombaan dalam rangka mengisi bulan bahasa, tetapi bahasa yang digunakan dalam perlombaan itu adalah Bahasa Inggris”. Jelas tidak konek sebab misi kita adalah “menjunjung bahasa Indonesia” sebagai bahasa persatuan seperti yang dikumandangkan oleh para pemuda generasi 1928.
Secara sepintas, isi kritik (keberatan) itu mungkin kesannya sederhana. Tetapi, saya kira “ada satu poin penting’ yang patut kita refleksikan saat ini? Poin itu adalah kadar kecintaan kita terhadap Bahasa nasional. Jadi, isu nasionalisme dalam berbahasa begitu kuat dalam kritikan itu.
Pertanyaannya adalah mengapa kita tidak percaya diri dengan bahasa nasional dalam menggelar berbagai perlombaan dalam rangka mengisi dan memaknai “bulan bahasa” ini? Apakah kita yakin bahwa para siswa kita sudah sangat “piawai” dalam menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar?
Hipotesis saya adalah kemampuan menggunakan bahasa Indonesia para siswa kita masih jauh dari yang diharapkan. Jika bahasa Indonesia saja, masih amburadul, mengapa kita “memaksa mereka” menggunakan logika pikir orang asing? Bukankah ini termasuk satu bentuk “kekerasan verbal”?
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.