Pancasila Sebagai “Kata Kerja”
Oleh : Sil Joni *)
BAGI masyarakat Indonesia, Pancasila merupkan rahmat (gabe) sekaligus sebuah tugas (aufgabe). Pancasila bukan hanya kumpulan norma moral kepublikan yang bersifat statis dan dihafal, tetapi juga menuntut sebuah konsistensi sikap sehingga ‘spirit kepancasilaan’ itu hidup di tengah kehidupan bernegara yang majemuk ini.
Dengan demikian, manusia Indonesia itu ‘mem pancasila’. Kehidupannya terarah untuk menginternalisasikan pelbagai kebajikan etis yang terkandung dalam Pancasila. Upaya untuk mempancasilakan manusia Indonesia tentu saja tak pernah final. Kita semua berada dalam proses menjadi insan pancasilais.
Oleh sebab itu, Pancasila tidak tepat bila dimaknai sebagai ‘kata benda’ yang kaku dan tak berjiwa. Sebaliknya, Pancasila mesti dimaknai sebagai kata kerja yang bersifat dinamis dan transformatif. Publik Indonesia terpanggìl untuk mengerjakan ‘proyek pancasilaisasi’ secara kreatif dan produktif sehingga bangsa ini berjalan dalam koridor eksistensialitas yang heterogen.
Secara teoretis-ideologis, Pancasila tak diragukan lagi sebagai ‘pondasi dan elemen perekat’ bangsa kita yang majemuk ini. Tetapi, dalam tataran implementasinya, kita masih terseok-seok untuk menjadikan ‘nilai-nilai ideal’ dalam Pancasila sebagai panduan etis-politis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, tugas kita saat ini adalah bagaimana merawat dan menerjemahkan nilai-nilai ideal tersebut dalam domain praksis bernegara saat ini.
Untuk tujuan itu, peringatan Hari Lahir Pancasila hari ini (1 Juni 2021), mesti dijadikan momentum strategis untuk merefleksikan riwayat sejarah penerapan Pancasila dalam panggung perpolitikan dan serentak melihat peluang untuk mengokohkan komitmen bersama dalam merawat kesaktian Pancasila di masa kini dan masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, Pancasila merupakan ideologi yang hidup dan terbuka untuk diadaptasikan dengan setting sosial-politik di kekinian.
Actus kontemplatif kebangsaan yang intensif dari Soekarno di bawah pohon sukun di Kota Ende melahirkan satu ideologi genial: Pancasila. Buah permenungan dari salah satu founding fathers RI ini telah menjadi “elemen perekat” bangsa yang terkonstruksi di atas basis pluralitas dan multikultural.
Namun, dinamika pelaksanaan ideologi ini mengalami pasang surut dalam lintasan sejarah politik bernegara kita. Pada zaman Orba, Pancasila dijadikan instrumen ideologis untuk “melanggengkan” kekuasaan politik Soeharto yang berwatak otoriter dan despotik. Rezim Orba cukup taktis dalam merekayasa Pancasila sebagai “alat ampuh” melumpuhkan suara-suara kritis publik.
Pancasila dijadikan tameng “justifikasi” pelbagai aksi represif Negara. Tafsiran aplikatif ideologi ini bercorak monologis atau asimetris. Pemerintah Orba memiliki privilese yang dominatif dalam melaksanakan dan mengamalkan Pancasila “secara murni dan konsekuen”.
Gempuran terhadap Pancasila tak surut di era reformasi. Gerakan disintegrasi dan separatisme semakin menguat sebagai manifestasi dari “frustasi sosial” yang terjadi pada rezim sebelumnya. Tuntutan untuk memisahkan diri dari NKRI menjadi “noda sejarah” yang tersimpan dalam arsip memori kolektif publik.
Dewasa ini, gelombang tantangan terhadap eksistensi Pancasila semakin menjadi-jadi. Ormas (keagamaan) radikal cukup agresif “memproklamirkan” bentuk ideologi sektarian sebagai “dasar negara” kita. Mereka menggunakan segala cara untuk “mewujudkan” misi radikalisme-fanatisme sempit tersebut.
Aksi teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo pada pertengahan tahun 2018 yang lalu dan di tempat lain sesudahnya merupakan “puncak gunung es” dari sebuah gerakan raksasa nan sistematis untuk “menggusur” Pancasila sebagai dasar keberadaan Negara ini. Mereka “menegasi” secara frontal eksistensi dari “entitas politik” yang tak sewarna dengan “aliran fundamentalisme” tersebut.
Bagi kelompok radikalis-teroris, Pancasila adalah “ideologi sesat” sebab mengakomodasi dan mengafirmasi setiap fakta kemajemukan yang dipandang sebagai “aib besar” di mata mereka.
Kendati diserang dari berbagai lini, Pancasila tetap “eksis”. Kampanye dan gerakan “merevitalisasi” nilai-nilai Pancasila dilakukan secara massif yang melibatkan semua komponen bangsa. Upaya merawat dan menyuburkan “penghayatan” Pancasila semakin intensif digalakkan. Rezim Jokowi-Ma’ruf mempunyai “kebijakan politik” yang tegas terhadap masa depan dari ideologi pemersatu bangsa ini.
Kebijakan tersebut tidak hanya berada pada tataran retorika, tetapi diimplementasikan dalam praksis politik kenegaraan. Negara (pada pemerintahan Jokowi-JK) tanpa ragu mendirikan Unit Kerja Presiden untuk Pengamanan Ideologi Pancasila dengan format baru Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Singkatnya, Pemerintah RI mempunyai “political will” yang kokoh bahwa Pancasila tak bisa dicungkil lagi. Pancasila sebagai ideologi negara, sudah menjadi harga mati.
Pada peringatan hari lahir Pancasila yang ke-75 ini kita semua diminta untuk tetap “mengerahkan energi politik” agar Pancasila tidak “terpental” dari panggung sejarah politik bangsa kita. Kita tidak ingin ramalan tentang “riwayat Indonesia” yang bubar secara tragis, lekas terjadi. Indonesia tidak bakal hancur berkeping-keping jika dan hanya jika kita “setia merawat kesaktian” ideologi positif ini.
Efektivitas Pancasila sebagai “pengikat kohesivitas sosial” tidak jatuh begitu saja dari langit. Pancasila adalah “teks hidup” yang ditafsir secara cerdas dan kreatif oleh semua elemen bangsa.
Upaya mempancasilakan manusia Indonesia menjadi imperasi moral politik yang sangat aktual dan urgen saat ini. Dinamika dan kompleksitas kehidupan berbangsa yang cenderung berjalan ke kondisi yang serba buram, menuntut kita untuk segera mengembalikan kejayaan ideologi pancasila sebagai modal sosio-ideologis pembangunan bangsa Indonesia yang lebih beradab.
Pancasila tidak boleh berhenti pada tataran jargon politik semata yang tak berdaya transformatif. Roh kepancasilaan itu mesti dihidupi secara konsisten dan kreatif. Dengan itu, Pancasila tidak lagi dilihat sebagai artefak ideologi budaya yang mati, tetapi sebagai ‘kata kerja’ yang meniupkan roh perubahan dalam kehidupan berbangsa. (*)
*) Penulis, pemerhati masalah sosial dan politik, tinggal di Labuan Bajo.