Pandemi Mengubah Wajah Pendidikan
Oleh: Nurhidayat Hi. Gani
(Ketua Komisariat LMND UMMU)
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Tujuannya sangat sederhana, agar bangsa ini tidak lagi dibodohkan oleh bangsa lain, tidak lagi dirampas hak dan sumber daya alam yang dimilikinya, juga tidak lagi menjadi budak di Negerinya sendiri, seperti yang terjadi di masa penjajahan.
Cita-cita itu sejak runtuhnya orde lama sampai pada orde baru hingga reformasi saat ini, masih jauh dari harapan. Sumber daya manusia pun terhitung masih lemah akibat dari kurangnya perhatian negara kepada anak bangsa dalam sektor pendidikan. Sehingga dalam proses berkembangnya waktu bangsa ini terlihat kocar-kacir menjawab tantangan zaman.
Era digital menjadi salah satu tantangan besar bagi bangsa dan negara untuk menepis polarisasi kapitalisme dan liberalisme agar menciptakan generasi yang kritis, kreatif, dan produktif (bukan apatis dan hedonis). Pengaruh kapitalisme dalam sektor pendidikan terlihat sangat signifikan akibat dari dukungun regulasi yang di produk oleh pemerintah melibatkan kapitalisme berperan penuh dalam dunia pendidikan dengan tujuan mendapatkan laba. Hal ini menjadi indikator utama mahalnya biaya pendidikan, sehingga mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan. Konkritnya ekonomi masyarakat tidak seimbang dengan biaya pendidikan.
Sejak kehadiran pandemi covid_19 di indonesia disertai arus liberalisme yang semakin kencang, wajah pendidikan kita sudah mulai berubah. Di samping fokus pemerintah memutus mata rantai penyebaran virus, ada problem lain yang dihadapi masyarakat akibat dari dampak pandemi covid_19, yaitu menurunnya pendapatan masyarakat. Dampak pandemi terhadap ekonomi masyarakat pun sudah barang tentu mempengaruhi sektor pendidikan kita, dimana diterapkannya gaya belajar baru, atau lebih dikenal dengan belajar daring (online) yang diberlakukan oleh pemerintah dengan tujuan memutus mata rantai covid_19 cukup menguras keungan rakyat kecil.
Belajar daring memberikan beban tersendiri bagi siswa maupun mahasiswa, dimana dalam proses belajar daring tidak ada fasilitas yang disediakan oleh pemerintah untuk menunjang kebutuhan siswa dan mahasiswa, melainkan beban itu diterima sendiri oleh siswa dan mahasiswa sebagai konsekuensi berkembangnya alat teknologi.
Kabarnya belajar daring telah ditetapkan secara parmanen melalui kebijakan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) dengan sebutan baru, yaitu Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Alasan kebijakan tersebut sama halnya dengan yang lalu, yaitu memutus mata rantai covid_19. Kebijakan ini diberlakukan kepada seluruh sekolah dan perguruan tinggi di seluruh indonesia. konon katanya kebijakan tersebut merupakan kebijakan alternatif yang di ambil oleh KEMENDIKBUD karena situasi covid_19 belum redah walaupun sudah diterapkannya New normal.
Mengikuti arus media sosial, kebijakan tentang PJJ yang dikeluarkan KEMENDIKBUD menuai kritikan dan tanggapan panas netizen. Pasalnya kebijakan tersebut dinilai tambah mencekik ekonomi rakyat kecil, dan juga ada sifat pemaksaan terhadap anak usia dini yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) untuk memahami alat teknologi berupa handphone (android).
Hemat saya, kebijakan PJJ tersebut tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Sebab, ketika PJJ ini diberlakukan apakah mampu atau tidak dipenuhi oleh seluruh sekolah yang ada di indonesia? karena dari sebagian wilayah yang ada di indonesia, belum sepenuhnya terakses jaringan internet, apa lagi di bagian timur indonesia yang secara geografi terlihat ekstrim di akibatkan keterlambatan pembangunan fisik. Di Maluku Utara (Malut) sendiri, masih sebagian besar daerah/desa yang berada di pelosok belum sepenuhnya terakses jaringan internet.
Di desa-desa yang ada di Maluku Utara (Malut), untuk mengakses jaringan internet kita harus ke tempat-tempat tertentu yang bisa menangkap jaringan internet dari luar.
Tempat tersebut di pegunungan, pantai dan lain-lain. Oleh sebab itu, ketika PJJ ini diberlakukan dan harus di ikuti oleh siswa maupun tenaga pengajar, secara otomatis mereka akan berkumpul di tempat yang sama untuk mengakses jaringan internet. Maka yang terjadi adalah kerumunan. Ini dinamika yang terjadi di desa-desa yang ada di Maluku Utara.
Kebijakan tentang PJJ juga seolah-olah menekankan kepada siswa perorangan wajib memiliki handphone, karena dalam sistem belajar daring yang biasa dilakukan ketika proses belajar mengajar di apilikasi Zoom adalah perorangan. Jika benar setiap siswa harus memiliki handphone, maka dalam waktu dekat ini orang tua dari siswa harus berusaha untuk memenuhi alat belajar anaknya, begitu juga dengan kebutuhan mendasar lainnya. Saya membayangkan seandainya dalam satu keluarga ada tiga anak yang berpindidikan, maka dalam waktu dekat ini pula orang tua mereka harus menyiapkan tiga buah handphone mereka plus kuota internet dan biaya SPP, Itu diluar dari kebutuhan sehari-hari yang lain. Jika kita melihat kebijakan ini dari sisi ekonomis, yang terjadi adalah pemerintah malah mencekik rakyatnya ditengah-tengah pandemi.
Sebagai penutup, saya mengajak kepada seluruh elemen pergerakan terutama mahasiswa, agar kiranya lebih fokus melihat persoalan pendidikan yang ada di negeri ini serta mengangkat harkat dan martabat bangsa ini melalui pendidikan. ***