Oleh : Sil Joni *)

Narasi besar tentang ‘kesetaraan jender’ terus diproklamasikan dan diperjuangkan secara serius dalam ruang publik-politis. Spirit emansipasi telah mewarnai derap sejarah manusia di era kekinian. Pelbagai praktik yang cenderung ‘mendiskreditkan’ dan merendahkan kaum perempuan relatif berkurang.

Ini sebuah perubahan pola pikir dan pola tindak yang sangat revolusioner dan progresif sifatnya. Arah pendulum peradaban kita bergerak ke kutup yang egaliter dan demokratis. Idealisme para ‘pejuang kemanusiaan’ perlahan-lahan mulai membuahkan hasil.

Kendati demikian, saya kira masih ada ‘narasi kecil’ yang mungkin luput dari perhatian kita perihal bercokolnya rasa superioritas laki-laki terhadap perempuan. Tulisan ini coba membendah fenomen pemberian atau lebih tepat pergantian ‘nama perempuan’ ketika suaminya memegang jabatan politik yang bergengsi.

Bagi saya, praktik semacam ini masih menjadi indikasi bahwa budaya patriarki belum sepenuhnya ‘lenyap’ dalam sejarah peradaban kita. Sepertinya, situasi subordinasi kaum perempuan dari laki-laki berlansung abadi. Realitas diskriminatif dan inferioritas itu terus diproduksi secara sistematis dalam struktur sosio-kultur kita. Fakta ‘perendahan’ itu seolah-olah sebagai sebuah “relitas terberi’ (given) yang taken for granted.

Cerita kecil dari setting politik berikut mungkin bisa dijadikan bahan perbincangan yang menarik. Ketika seorang laki-laki, merengkuh sebuah jabatan publik (politik) mulai dari level Kabupaten sampai nasional, maka secara otomatis, nama istrinya harus hilang, diganti oleh nama sang pejabat itu.

Saya kira contoh mengenai kasus ini berserakan di mana-mana. Iriana Joko Widodo, Ani Yudoyono, Lusia Lebu Raya, Julie Laiskodat, Wis Dulla untuk sekadar menyebut beberap contoh bagaimana “betapa superiornya” nama sang pejabat (maskulin) dalam lapangan politik kita.

Namun, anehnya, ketika seorang perempuan menjadi pejabat publik, nama sang suami tidak hilang atau diganti dengan nama istri yang adalah seorang pejabat publik tersebut. Contoh, saat Megawati menjadi presiden, nama suaminya tetap Taufik Kiemas. Tidak ditambahkan menjadi Taufik Megawati.

Pertanyaannya adalah apakah ada semacam keharusan bahwa sebagian nama dari istri (perempuan) pejabat itu harus diganti dengan nama suaminya? Apa sebetulnya motivasi dan intensi pergantian nama itu? Apakah pergantian itu mau memperlihatkan bahwa mereka tidak lagi dua melainkan satu (daging)?

Jika motifnya adalah proklamasi akan hakikat ‘ketakterceraian’ dari sebuah perkawinan, mengapa mesti menggunakan nama suami dan bukan nama istri. Saya justu menilai bahwa ‘fenomen semacam ini’ memperlihatkan posisi perempuan yang selalu ‘kalah’ berhadapan dengan laki-laki. Identitas mereka sebagaiannya ditentukan oleh laki-laki. Contoh yang paling gamblang adalah kisah pergantian nama tersebut.

Kendati ‘sebagaian namanya’ hilang, para istri (perempuan) ini, tidak keberatan. Mereka tidak melakukan aksi protes yang radikal dan agresif. Alih-alih menolak, para istri ini justru merasa bangga dan seolah-olah mendapat “kehormatan’ yang luar biasa ketika sebagian nama itu ‘lenyap’.

Tidak heran, ada sebagian para istri yang ‘bertingkah’ seolah-olah ‘dirinya’ kecipratan predikat pejabat atau pemimpin publik itu. Ada yang tak sungkan ‘berlagak’ sebagai pemimpin publik benaran. Mungkin karena namanya sudah ‘disisipi’ dengan nama sang suami yang adalah seorang pejabat prestisius.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.