Oleh : Sil Joni *)

Jika kita mengamini bahwa Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) dianggap sebagai ‘pesta demokrasi’, maka semestinya ‘hak untuk terlibat’ dalam kemeriahan sebuah pesta ‘tak boleh ditekan’. Pesta selalu berkaitan dengan ‘eksistensi’ sebagai manusia. Dalam dan melalui pesta ‘sisi kesetaraan’ sebagai sesama manusia dirayakan dengan antusias.

Pesta politik seperti Pilkada seharusnya menjadi ‘medan’ pemanifestasian ‘hasrat berpesta’ sebagai bentuk perayaan terhadap status sebagai makluk politik. Kontestasi Pilkada merupakan momen pengaktualisasian kerinduan kita untuk ‘larut’ dalam kegembiraan sebuah pesta.

Namun, tak dapat disangkal bahwa ternyata ‘pesta politik’ ini harus mematuhi beberapa ketentuan yang telah menjadi konsensus bersama. Aturan tersebut kerap membatasi ‘kegairahan kelompok tertentu’ untuk terlibat penuh dalam perhelatan itu.

Demi kepatuhan pada aturan, maka aparatur sipil negara (ASN), TNI/POLRI, Camat, Kepala Desa, Tenaga Kontrak, dan pejabat publik lainnya harus ‘mengontrol’ hasrat dalam memberikan dukungan secara gamblang kepada salah satu pasangan calon (paslon). Mereka, atas nama jabatan dan keteraturan, mesti menjajagi posisi netralitas dalam pertarungan politik ini.

Anehnya, jabatan karier dari ASN dan pejabat publik itu, tak pernah terlepas dari kepentingan politik. Ini sebuah kontradiksi yang sulit dipertanggungjawabkan. Penguasa politik produk Pilkada dalam prakteknya punya otoritas untuk ‘mengatur bahkan menentukan’ nasib karier politik mereka. Jabatan atau pangkat dalam dunia birokrasi umumnya didikte oleh penguasa politik.

Karena itu, saya tidak terlalu yakin bahwa para ASN yang mengincar posisi tertentu dalam dunia birokrasi, bersikap netral dalam Pilkada. Sebagai manusia yang ‘haus jabatan’, tentu saja mereka dengan cara tersendiri memberikan dukungan dan kontribusi kepada salah satu paslon. Dukungan itu, boleh jadi tidak diperlihatkan secara terbuka di panggung depan (front stage), tetapi diekspresikan secara senyap di panggung belakang (back stage).

Aturan yang bersifat restriktif menyebabkan ASN dan kelompok target bersikap hipokrisi. Alih-alih ‘membatasi’ pergerakan ASN, aturan semacam itu merangsang lahirnya aneka kreativitas iblis dan trik untuk terlibat dalam permainan politik praktis. Dengan kata lain, tendensi dasariah manusia untuk ‘berpolitik’ tidak bisa dikekang dengan pelbagai bentuk pembatasan. Manusia adalah makluk yang ‘cerdik’ untuk keluar dari jerat peraturan yang berpotensi membonsai ‘aktualisasi potensi politiknya’.

Pada sisi yang lain, kita belum mendapat penjelasan yang rasional mengapa ‘Kepala Desa’ mesti bersikap netral dalam Pilkada. Sementara para anggota DPRD dengan bebas masuk dalam lapangan politik kekuasaan itu. Bukankana Kepala Desa dipilih oleh rakyat sama seperti anggota legislatif itu? Mengapa aturan untuk bersikap netral tidak berlaku untuk DPRD? Apakah mereka juga tidak termasuk pejabat publik yang mesti menjaga marwah Pilkada dengan cara berada pada posisi independen dalam Pilkada?

Masalahnya adalah hak untuk mendukung dalam Pilkada ‘dibatasi’ oleh aturan, sementara penggunaan pengaruh politik dari sang bupati terpilih untuk mengendalikan ‘nasib’ dari ASN tidak dibuat aturan yang tegas. Tidak ada sanksi yang tegas bagi bupati yang ‘memakai werwnang politiknya’ dalam menentukan jabatan yang mesti dipegang oleh seorang ASN. Intervensi politik dalam menentukan jabatan masih begitu gamblang dipratekkan.

Secara teoretis kita mengenal perbedaan istilah antara jabatan politik dan jabatan karier. ASN adalah jabatan karier. Tetapi, dalam banyak kasus, karier kebirokrasiannya ditentukan oleh pejabat politik. Atas dasar itulah, saya kira sampai saat ini, sebagian ASN ‘sulit’ untuk berdiam diri saja dalam PIlkada ini. Mereka juga mempunyai kepentingan yang kalau dapat bisa diperjuangkan oleh paslon tertentu.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.